Senin, 13 November 2017

Tulisannya Ifa - 4



Kali ini, saya akan berbagi tentang apa yang telah saya dapatkan di minggu ini.

Well, sebelum saya melanjutkan untuk bercerita, atau berbagi, saya sangat mengharap feedback dari teman-teman pembaca akan tulisan saya. Jika terdapat satu atau beberapa dari yang saya sampaikan tidak sesuai dengan teman-teman, bisa menghubungi saya, melalui email thawafani15@gmail.com.

Oke, kembali ke topik yang ingin saya sampaikan.

Sebelumnya mungkin perkenalan terlebih dahulu. Nama saya Lathiifah, mahasiswi semester 5, Teknik Industri.

Apa yang ada di benak teman-teman, saat mendengar Teknik Industri (TI)? Mungkin yang ada di benak teman-teman (yang belum mengetahui, what is the real IE), TI adalah sebuah program studi yang hanya membahas mengenai pabrik, pabrik, dan pabrik. Tapi, itu salah besar.

Karena, di TI, kami belajar banyak hal. Science, sosial, humaniora, bahkan ekonomi. Mungkin ada beberapa dari teman-teman yang sudah membaca atau bahkan mengikuti blog saya semenjak awal, bertanya-tanya, “Kok bisa masuk di TI? Kan dulu di Farmasi?”. Tapi kali ini saya tidak akan membahas itu. Saya akan membahas tentang,

“Sebenarnya kita kuliah untuk apa?”

Pertanyaan itu menghantui saya akhir-akhir ini. Tapi engga juga ding. Dari dulu malah.

Mungkin akan ada yang menjawab, “Kuliah itu ya untuk mencari ilmu.”

Atau, “Biar wawasan nambah, dan dapet temen banyak.”

Atau, “Biar bisa mengasah kemampuan, baik di soft skill maupun hard skill.”

Atau, “Daripada nganggur mending kuliah.”

Atau banyak jawaban lain.

Dan sekarang, saya ingin bertanya kepada teman-teman, “Anda kuliah untuk apa?” silakan jawab pertanyaan itu, dan simpan untuk teman-teman sendiri.

Well, sampai di semester 5 ini, banyak hal yang belum saya kerjakan. Selama saya menjadi mahasiswa. Mungkin banyak, tapi masih sangat sedikit jika itu menyangkut kemaslahatan ummat.

Begini, banyak waktu yang lalu, saya “di tantang” oleh seorang teman. Beliau menyampaikan seperti ini, “Semester depan kamu sudah masuk ke semester 5. Setelah semester 5, kamu sibuk ke KP, setelah KP kamu bakalan ngurus TA. Sisa waktumu hanya semester depan saja. Jadi, buat tahun ini menjadi tahun terbesarmu.” (Re: KP = kerja praktik; TA = tugas akhir; tahun ini = 2017)

Saat dia menyampaikan seperti itu, ada seperti “tanggungan” yang harus saya kerjakan. Paling tidak, ada hal besar yang saya lakukan di tahun ini, yang mungkin nantinya bisa “mengubah” saya. Entah dari cara saya berpikir, mengambil keputusan, bahkan dalam bertindak, atau mungkin dalam bentuk karya atau semacamnya.

Dan setelah saya menimbang dan berpikir, “Apa yang belum saya kerjakan?”

Lalu, sisi lain pada diri saya menjawab, “Banyak sekali yang belum kamu kerjakan. Dan tahun ini akan segera berakhir.”

Saat melihat teman-teman saya yang bisa “keluar”, mengembangkan diri mereka, dengan ikut ke komunitas-komunitas mengajar, kepanitiaan event-event besar, mengabdi ke masyarakat, dan banyak hal lain yang tidak hanya bisa mengembangkan diri mereka di dalam kampus, namun juga di luar kampus, membuat saya iri, sebenarnya. Namun semua orang memiliki caranya tersendiri untuk meningkatkan kualitas diri mereka. Ada yang memanfaatkan kegiatan di luar kampus seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, ada juga yang memanfaatkan kegiatan di dalam kampus. Himpunan, UKM, lab, lomba-lomba akademik, dan banyak hal lain. Bahkan ada juga teman-teman saya yang bisa imbang didua-duanya. Salute!

Dari kesemuanya itu, tidak ada yang salah. Kita semua memiliki waktu tersendiri, yang mana itu adalah sudah menjadi jatah kita di tiap waktu kita.

Berbicara tentang kegiatan belajar mengajar di perkuliahan, ada hal yang saya favoritkan pada tiap kali perkuliahan berlangsung. Terlepas dari dosen menyampaikan materi perkuliahan, yaitu, menyampaikan sebuah nilai-nilai kehidupan. Misalnya adalah, dengan memberikan sebuah “pesan” tersirat pada mahasiswa saat perkuliahan berlangsung; memberikan sebuah, mm, bisa dikatakan, pengalaman hidup, atau “gimana sih kehidupan kita setelah perkuliahan?”; atau “gimana sih dunia kerja yang sebenarnya?”; atau banyak hal lain.

Dan bodohnya saya adalah, saat dosen menyampaikan “poin-poin” yang menurut saya penting (selain materi perkuliahan), saya tidak menyimpannya. Namun, beberapa waktu terakhir, saya mulai menuliskan “hal-hal penting” itu.

“Emang sepenting itukah yang disampaikan dosen sampai harus ditulis?”

Dan jawaban saya adalah, “Ya.”

Sebenarnya saya memiliki hobi menuliskan hal-hal yang menurut saya menarik. Bisa jadi hal itu muncul saat saya sedang berdiskusi dengan teman, melihat sesuatu di jalan, di internet, atau yang lainnya. Termasuk ketika saya bertemu orang baru, yang baru saya kenal. “Bisa jadi, kita tidak akan bisa bertemu kembali,” itu yang saya pikirkan. Karena saat kita bertemu orang baru, saat itulah kita bertemu guru baru.

Well, beberapa minggu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar yang diadakan oleh himpunan kami. Ada hal menarik yang disampaikan oleh pembicara. Terlepas dari materi seminar yang beliau sampaikan. Tertulis dengan jelas di buku kecil yang selalu saya bawa. Untuk menuliskan hal-hal menarik menurut saya. Seperti ini, “Jika suatu saat kita menjadi pejabat, pertahankan integritas. Tingkatkan infrastruktur, perguruan tinggi harus bersinergi dengan pemerintah. MEA adalah ancaman serius bagi bangsa kita sekarang. Harus bisa mengelola SDM dan SDA di Indonesia. Harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Perkuat kemampuan diri sendiri untuk menghadapinya.”

Pesan itu disampaikan oleh Ibu Sri Peni Inten Cahyani, Direktur Utama Indonesia Power.

Ya, semua orang memang tahu tentang hal tersebut. Namun, beberapa hanya tahu saja. Tanpa ada tindak lanjut, maksudnya adalah, tidak adanya persiapan untuk menghadapi MEA, maupun segala “tantangan” yang ada di depan. Nah, untuk menghindari itu, dan untuk selalu mengingatkan saya untuk selalu insyaAllah mengimprove diri saya, saya tulislah hal tersebut.

Integritas memang sangat penting. Bahkan dosen saya pernah menyampaikan di sela-sela perkuliahan, “Saya tidak terlalu peduli dengan soft skill maupun hard skill. Meskipun itu adalah hal yang penting. Namun bagi saya, integritas tidak kalah pentingnya.”

Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh dosen saya. Tapi sebenernya, intergritas itu apa sih? Sampai-sampai ia dielu-elukan oleh banyak orang? Jadi, menurut sebuah artikel yang saya baca, integritas adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi, dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur, dan memiliki karakter kuat. (ot.id)

Ya. Kepercayaan memang yang utama. Dan tidak dapat dibeli. Karena kepercayaan itu memang susah. Saat orang lain sudah memberikan kepercayaan pada kita, saat itulah, kita diuji. Apakah akan selalu menjaganya, atau mengkhianati.

Berbicara tentang memperkuat diri sendiri, atau bisa juga dikatakan sebagai, meningkatkan kemampuan dan kualitas diri kita. “Kita bisa meningkatkan kualitas diri kita, saat kita tahu siapa diri kita yang sebenarnya.” Itu adalah apa yang disampaikan oleh dosen saya yang lain, tentang kualitas diri.

Dan saya sangat setuju dengan itu. Bagaimana kita bisa meningkatkan diri kita, jika bahkan, kita tidak mengetahui, atau lebih parahnya, tidak mengenal diri kita yang sebenarnya?

Nah, “Siapa diri saya yang sebenarnya?”

Silakan tanyakan hal itu pada diri teman-teman sendiri.

Dengan kita mengetahui diri kita, kita juga bisa tahu, sejauh mana yang kita bisa. “Bisa” disini memiliki arti yang luas, bisa menghadapi permasalahan, bisa memberikan argumen dengan baik, bisa memperlakukan orang lain dengan baik, dan banyak sekali hal lainnya.

Dan jika teman-teman memberikan pertanyaan balik kepada saya, “Apakah kamu sudah mengenal siapa diri kamu yang sebenarnya?”

Dan saya menjawab, “Pelan-pelan, saya mulai mengenal diri saya.” Karena itu memang hal yang tidak mudah.

Lalu berbicara mengenai “yang akan kita hadapi pada masa yang akan datang” pun, membuat saya bergeming. Apa yang sudah saya persiapkan?

Salah satu dosen saya menyampaikan, “Bisa fleksibel, adalah tantangan yang harus kalian hadapi di masa kalian mendatang. Kita tidak akan bisa tahu apa yang akan menjadi trend pada masa nanti. Dan mulai sekarang, kalian harus mempersiapkannya.”

Lalu pertanyaan saya, “Apa yang harus saya lakukan?” Hayolo. Malah bingung.

Lalu diri saya yang lain menjawab, "Perkuat integritas, tingkatkan kemampuan diri, mau belajar dan yang paling penting, selalu mendekatkan diri pada Rabb-mu.”



Baiklah teman-teman pembaca semua, itu adalah sebagian kecil dari apa yang saya dapatkan, dan apa yang ingin saya bagi ke kalian semua. Saya akan sangat senang jika ada yang ingin berbagi juga dengan saya, bisa lewat kolom “komentar” di bawah, atau melalui e-mail yang sudah saya cantumkan di atas, sehingga kita bisa berdiskusi. Baik itu tentang perkuliahan, non-perkuliahan, atau hal lainnya. Selama hal itu masih “layak” untuk didiskusikan. Hehehe.

Di postingan selanjutnya, insyaAllah saya akan menyampaikan tentang salah satu pengalaman saya. Yang sampai saat ini masih menghantui saya. So, sampai jumpa di postingan saya selanjutnya!





-L-
Share:

Minggu, 05 November 2017

15

Sebuah Cerita Tentang Puan dan Tuan



“Bagaimana aku harus menyampaikannya padamu, Tuan?”, ucap Puan pada Tuan di pagi ba’da subuh.
Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Tuan masih terdiam.

Banyak hal yang ingin disampaikannya, banyak hal yang mengganggu pikirannya selama bertahun-tahun ini.

Namun tak kunjung terucap.

Namun pagi itu, Puan memberanikan diri untuk berbicara pada Tuan.

Ia membutuhkan jawaban.

Jawaban atas penantian mereka selama ini.

“Terima kasih,” akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Tuan.

“Terima kasih untuk apa? Aku tidak membutuhkan terima kasihmu, aku hanya membutuhkan jawaban, bagaimana aku harus menyampaikannya padamu?”

“Kau tidak perlu bingung bagaimana kau harus menyampaikannya padaku, Puan. Kau sudah melakukan yang terbaik.”

“Tapi kau tak kunjung memberikan jawaban.”

Puan memalingkan wajahnya.

Sunyi.

Hanya suara kicauan burung yang memecah kesunyian ini.

Lalu,

“Tuan, dulu aku berpikir, mungkin saat ini belum waktu yang tepat untuk kita berdua merajut asa bersama. Karena kita masih mementingkan ego, karena kita masih harus menemukan siapa diri kita, karena aku pikir, kita masih membutuhkan waktu untuk sendiri, untuk memperbaiki diri.”

Puan diam sejenak. Lalu ia melanjutkan,

“Dan saat itu, aku beranggapan bahwa, mungkin jika aku menunggu sebentar lagi, saat kita berdua sudah siap, saat kita berdua tidak lagi mementingkan ego satu sama lain, saat kita berdua siap untuk bersama dalam keadaan apapun, saat itu pula kita dipertemukan kembali.”

Air mata keluar dari sudut mata Puan. Ia tak dapat membendungnya.

“Dan akhirnya, kita, sekarang dipertemukan kembali. Aku membutuhkan jawaban, Tuan. Aku siap dengan apapun keputusanmu.”

Tuan terdiam.

“Sampai kapan kau akan terus diam dan berbohong dengan perasaanmu sendiri? Sampai kapan aku harus menuliskan surat, sampai kapan aku harus berbicara pada langit, sampai kapan aku harus meminta pada Tuhan untuk menyampaikan rasa rinduku padamu? Karena meskipun aku melakukan semuanya, kau masih akan selalu diam.”

“Puan,”

Tuan memberikan sapu tangan pemberian Puan beberapa tahun silam. “Usap air matamu.”

Puan menerimanya.

“Setiap hari, setiap aku terbangun dari tidurku, aku menyampaikan rasa syukurku pada Tuhan. Karena aku masih diberikan waktu untuk selalu beribadah, untuk selalu memberikan kebaikan bagi orang lain, dan untuk selalu mendoakanmu.
Setiap hari, kusampaikan rasa salamku pada bunga di depan rumah, menyapa kupu-kupu yang menghisap madunya, dan aku berkata pada kupu-kupu itu, “Sampaikan salamku pada Puan.”
Lalu aku berjalan, setiap hari, di tiap langkahku, aku berharap dan berdoa dalam hati, untuk bisa dipertemukan denganmu. Entah itu di jalan, di tempat aku beribadah, di tempat aku makan, dimanapun itu.
Lalu saat pertengahan hari, aku bertanya pada sapu tangan yang kau bawa itu, “Makan apa kau siang ini, Puan? Dengan siapa kau makan siang hari ini? Apakah makananmu nikmat?”
Kemudian, sore menjelang, kusempatkan untuk keluar sebentar, menyaksikan matahari tenggelam, dan menyampaikan pesan lagi pada matahari, “Sampai bertemu besok lagi, dan izinkan aku bisa bertemu Puan. Aku sangat merindukannya.”
Setelah isya, saat dimana bulan dan bintang berkilauan, aku merindukan saat dimana kita berdiskusi bersama waktu itu, bercerita tentang bagaimana harimu, bagaimana hariku, kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan hari ini, dan apa saja yang akan kita lakukan esok hari.
Lalu kita berdiskusi tentang hidup, kita bercerita tentang bagaimana kita merindukan keluarga kita satu sama lain. Dan bintang dan bulan yang memenuhi angkasa malam itu, menjadi saksi kita berdua.
Setiap hari aku menderita, Puan. Namun aku menahannya.
Dengan aku pergi ke banyak tempat, semakin sering aku mengingatmu, semakin bertambah pula kekagumanku padamu. Aku bangga bisa pernah mengenalmu, Puan.
Aku bangga kita pernah berdiskusi bersama.
Aku bangga padamu dengan kebaikan-kebaikan yang kau lakukan pada orang-orang di sekitarmu.
Lalu kemarin, saat kita bertemu, kuucapkan syukur yang tiada henti-hentinya pada Tuhan, pada semesta. Bahwa mereka semua, telah menyampaikan rasa rinduku padamu. Bahwa mereka menyampaikan dan mengabulkan doa-doa yang telah kupanjatkan.
Dan aku tidak mau kehilanganmu lagi, Puan.”

Akhirnya semua tersampaikan.

Akhirnya Tuan menyampaikan semua yang ada di dalam hatinya.

Akhirnya Tuan menyampaikan segala isi hatinya.

Dan akhirnya Tuan bisa tersenyum.

Puan terdiam seribu bahasa. Ia tak tahu lagi betapa bahagianya ia saat ini. Ia tak bisa mengucapkan kata apapun saat ini. Akhirnya Puan mendapatkan jawaban.

Tuan dan Puan, adalah dua orang bodoh, yang sama-sama menunggu, sama-sama mendoakan, namun tak berani menyampaikan.

Tuan dan Puan, adalah dua manusia, yang sama-sama berubah menjadi sosok yang lebih baik lagi dari awal mereka bertemu.

Lalu bertemu kembali, dengan keadaan yang sangat lebih baik dari pertama mereka bertemu.

Bukankah tidak ada yang lebih syahdu, dari dua jiwa yang diam-diam menunggu, sama-sama mengucapkan doa, lalu bertemu di titik rindu?

Dan semesta meridhoi mereka untuk bersama.

Karena mereka, Puan dan Tuan, berpisah untuk kebaikan, dan bertemu lagi karena kebaikan.


-L.
Share:

Jumat, 03 November 2017

14



Once upon a time, in the night full of stars,
Someone asked me, “Tell me about what is your feeling right now? How is your feeling? Tell me about yourself, that no one who knows it before. And I will feel so happy if you want to share with me.”
Then I answered he, “Then I don’t wanna tell you about it.”
“So, tell me, or ask me about your big question in life.”
I quietest for a moment. Think aloud. There are so many questions in my life.
Then,
“And the question is: What am I searching for?”
Then, at that time, he told me about many-many-many things.
And FYI, he told me everything, but, I couldn’t comprehended it.
I felt so sleepy.
“But the point is,” he said, “The answer is: There is no answer about your question.”
Well, our conversation for about one hour ended with that-not-so-satisfying statement.
Then, I missed all of our discussion.

Don’t you missed it?

-L-
Share:

Sabtu, 30 September 2017

13


Hujan di Bulan September

Adakah yang lebih menggembirakan dari hujan di Bulan September?
Adakah yang lebih menyedihkan dari hujan di Bulan September?
September mengingatkanku pada sebuah tulisan dari penulis terkenal di negeri ini.
Kita tidak dapat hidup pada dua tempat dalam satu waktu.
Itulah mengapa manusia diciptakan untuk menjadi setia.
Lagi-lagi September mengingatkanku bahwa,
Penyesalan terbesar dalam hidup adalah bukan tentang kegagalan.
Namun penyesalan terbesar dalam hidup adalah karena kita tidak mau mencoba.
Yang akhirnya membuat kita tidak mengetahui hasil dari apa yang telah dilakukan.
September menjadi saksi bisu banyak orang, tentang kebahagiaan.
September menjadi saksi bisu banyak orang, tentang kesedihan.
September menjadi saksi bisu banyak orang, tentang kesuksesan.
September menjadi saksi bisu banyak orang, tentang penyesalan.
Semuanya terangkum dan terekam jelas pada Hujan di Bulan September.
Termasuk elegi dan imajinasi yang aku buat sendiri.
Maka biarkan aku terlarut dalam angan-angan yang akan terus muncul entah sampai kapan.
Dan mimpi-mimpi yang telah kita buat selama ini.
Dan catatan-catatan yang kita tulis untuk satu sama lain.
Maka biarkan waktu menjalankan tugasnya untuk mewujudkan seluruh angan, mimpi dan catatan kita dengan sempurna.
Maka biarkan awan menjalankan tugasnya untuk meneduhkan langkah-langkah kebaikan ini.
Maka biarkan hujan membasahi bumi dan hati manusia-manusia yang mulai mengering.
Maka biarkan langit menjalankan tugasnya untuk selalu menaungi perjalanan ini, sampai kita semua lelah, dan bertemu kembali dalam dimensi lain.
Dan biarkan September menjadi saksi dari kesemuanya.
Lalu tanganku menuliskan syair dan elegi di sore nan mendung nan syahdu ini dengan baik.
Hingga suatu saat, tanganku tak mampu lagi untuk menuliskannya.
Namun entah kapanpun itu, aku akan kembali lagi dengan membuka lembaran-lembaran syair dan elegi pikiranku dengan penuh kenangan dan memori.
Maka, kita simpan saja seluruh mimpi-mimpi kita dalam angin di hujan Bulan September ini dengan sempurna.
Sesempurna apa yang telah kita rancang bersama.
Sesempurna mimpi dan cita-cita kita.
September, lagi-lagi menjadi saksi bagi kita, bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selagi kita masih memiliki “percaya”.
Dan,
Aku memercayaimu.
Mari kita tunggu apa kabar hujan di Bulan September di tahun-tahun selanjutnya.
-L-

Share:

Sabtu, 16 September 2017

Tulisannya Ifa - 3

 #lathiifahselfreminder-Muhasabah

Bintang masih bersinar, seperti hari-hari sebelumnya.
Namun di tempat aku berdiri sekarang, tempat dimana aku dilahirkan, dan mungkin akan meninggalkan,
Bulan tak terlihat.
Atau, belum terlihat.
Hari ini tepat dua puluh tahun aku diperlihatkan pada dunia oleh Allah.
Hari ini, sudah dua puluh tahun lebih jantungku berdegup.
Hari ini, sudah dua puluh tahun lebih ruh-ku ditiupkan.
Maka, aku ingin bermuhasabah.
Sejak beberapa tahun silam, aku sudah berjanji pada Rabb-ku.
Untuk beriman padanya.
Lalu setelah dua puluh tahun, masa duniaku, masa dunia yang aku lalui, seberapa besarkah tingkat keimananku padanya?
Sudahkah aku menjadi hamba yang taat pada Sang Lathiif?
Sudahkah aku menjadi hamba yang patuh pada Rabbi?
Malam ini, kuputar memoriku pada banyak tahun yang lalu.
Saat dimana ombak dan angin yang saling menderu.
Tertawa dan suara khas yang menenangkan jiwa.
Kaki kecil yang berlarian diantara pasir putih.
Saat dimana kita mencari batu karang bersama.
Lalu dibawa pulang.
Aku sangat merindukan masa itu.
Lalu aku berjalan kembali, pada masa dimana dua belas tahun yang lalu, tepat di hari Jumat, 5 Agustus 2005, separuh jiwaku pergi.
Waktu terpaksa akan terus berdetik.
Maka aku tiba pada saat dimana aku bertengkar dengan temanku, lalu aku menangis.
Mengadu pada Umi.
Namun aku pernah, tidak melakukan itu. Kusimpan sendiri. Sampai aku ingin enyah, pada waktu itu.
Aku masih mencari siapa diriku.
Aku belum menemukannya.
Hidupku saat itu masih dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan,
Kenapa aku harus hidup?
Kenapa aku tidak menjadi batu saja?
Biar nanti di akhirat aku tidak perlu dimintai pertanggungjawaban.
Kenapa aku tidak menjadi kambing/sapi yang bisa menjadi hewan kurban saja?
Biar nanti di akhirat aku jelas-jelas masuk surga.
Kenapa aku tidak diwafatkan saat aku baru saja lahir?
Biar nanti aku bisa menjadi pelayan surga, dan menjemput orang tuaku dan saudaraku di surga.
Kenapa aku harus menjadi manusia?
Yang nanti akan dimintakan pertanggungjawaban di akhirat.
Yang setiap perbuatanku akan dicatat oleh Malaikat Rakib dan Atid.
Lagi-lagi aku masih mencari apa arti hidup.
Kemudian jam pasir masih berjalan, selalu berjalan.
Lalu dibawah lampu jalanan, aku berjalan, menyusuri gang, dengan tangisan.
Mengapa aku harus menjalani hidup seperti ini?
Tanyaku pada waktu itu.
Merindukan sosok yang selalu hadir dalam hidupku.
Lalu aku bertanya tentang hidup.
Untuk apa aku hidup?
Bertahun-tahun aku dihantui pada pertanyaan itu.
Sampai akhirnya, beberapa waktu lalu, aku menemukan jawabannya.
“Untuk bahagia.”
Berbicara mengenai bahagia,
Apakah hidup cukup dengan bahagia secara fisik?
Maksudku, bahagia yang bisa tampak oleh orang lain.
Duniawi.
Apakah hatiku sudah bahagia?
Apakah hatiku sudah membahagiakan orang lain?
Janganlah orang lain, diri sendiri saja dulu.
Apakah aku sudah membahagiakan diriku sendiri?
Bahagia memiliki arti yang sangat luas.
Bisa dipertemukan dengan banyak orang yang bisa membuatku akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaanku.
Sedikit demi sedikit.
Bisa berbuat kebaikan.
Bisa tetap patuh pada-Nya.
Bisa tetap selalu ingat pada-Nya.
Yang paling tidak kuharapkan adalah,
Aku wafat, dalam keadaan sia-sia.
Aku wafat, dalam keadaan aku tidak tahu apa-apa.
Aku wafat, dalam keadaan,
Aku masih belum menemukan jawaban dari segala, semua pertanyaan-pertanyaanku.
Menghitung hari menuju tahun baru.
Tahun ini akan segera berakhir.
Apa yang sudah kulakukan?
Pertanyaan itu menghantuiku akhir-akhir ini. Selama beberapa bulan terakhir.
Aku sudah tak terlalu peduli dengan,
Apa yang sudah kudapatkan?
Aku masih terlalu sedikit untuk memberi.
Beberapa minggu lalu, aku berdiskusi dengan temanku. Kami membicarakan hal yang, menurutku, menarik.
Dia sedih waktu itu. Memikirkan dunia.
Dia menggiringku, bahwa, apa yang sudah kita lakukan di dunia ini, bisa menjadi barokah atau malah bumerang di akhirat nanti.
Akhirat kekal.
Dunia sementara.
Dan sangat sebentar.
Lalu ditengah dunia yang sangat sebentar ini, apa yang sudah dilakukan?
Banyak maksiatkah?
Banyak bermanfaatkah?
Sekecil apapun perbuatan kita di dunia ini, pasti akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Tidak ada satupun yang tidak di hisab.
Hari ini aku merenungi nasibku,
Sisa usiaku sudah berkurang.
Sementara masih banyak sekali dosa-dosa yang masih aku lakukan.
Namun apakah seiring dengan berkurangnya usiaku, akan dikurangkan juga dosaku?
Pertanyaan bodoh ini memang tak perlu untuk dijawab.
Aku memang telah menemukan jawaban dari pertanyaanku, “Untuk apa kamu hidup di dunia?”
Namun, aku masih belum bisa menemukan jawaban dari,
Bagaimana caranya agar aku dan saudara muslimku terhindar dari nikmatnya dunia?
Bagaimana caranya agar aku dan saudara muslimku bisa mati dalam keadaan khusnul khatimah?
Bagaimana caranya agar aku dan saudara muslimku bisa terbebas dari siksa kubur?
Bagaimana caranya agar aku dan saudara muslimku bisa terbebas dari siksa api neraka?
Dan banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab,
Hari ini aku bersyukur, masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk selalu beribadah pada-Nya.
Hari ini aku bersyukur, masih dikelilingi keluarga, teman, guru, dan banyak sekali orang yang menyayangiku.
Namun aku melupakan,
Bagaimana keadaan saudaraku di belahan bumi yang lain.
Aku melupakan bagaimana mereka kesusahan dalam hidup, namun masih ingat pada Sang Lathiif.
Anak enam tahun, disaat teman-teman seusianya berebut makanan,
Ia hanya menginginkan satu: mushaf Al-Qur’an.
Aku malu.
Aku merasa hina dengan kenyataan itu.
Aku tak ada apa-apanya dengan anak itu.
Dia kehilangan seluruh anggota keluarganya,
karena perang.
Namun ia tak kehilangan Rabb-nya.
Karena di dalam hatinya, selalu tersimpan Sang MahaLembut.
Di sisa umurku yang entah sampai berapa.
Hari ini aku mengingatkan diriku pada hal yang meningkatkan kualitas imanku.
Hari ini aku mengingatkan diriku, bahwa, kamu, Ifa, kamu tidak tahu sampai berapa usiamu.
Maka berbuat baiklah selama sisa usiamu ini.
Berbuat baik memang susah, maka berusahalah.
Hari ini, teman-teman dan keluargaku memberikan doa yang baik.
Terima kasih untuk semuanya.
Yang paling aku harapkan adalah,
Saat aku wafat nanti, mereka akan tetap mendoakanku
Mereka akan tetap mengingat kebaikan-kebaikan yang kami lakukan.
Selalu mengingatkan pada kebaikan.
Selalu mengingatkan bahwa semuanya pasti kembali pada Sang Lathiif.
Dan insyaAllah, kita semua dapat menjadikan penolong satu sama lain di akhirat nanti.
Hingga nanti kita semua, bisa berkumpul di Jannah, yang kita impi-impikan.
Yang menjadi tujuan sebenarnya dari kehidupan ini.

Jumat, 15 September 2017. 8:58 p.m

Makhluk-Nya yang selalu memperbaiki diri,

-Lathiifah Thawafani.
Share:

Sabtu, 05 Agustus 2017

12

Seorang teman pernah bertanya padaku,
“Apakah kau merindukannya?”
Aku terdiam sejenak.
Berpikir,
Lalu aku tersenyum, meski ia tak melihatku.
Dia bertanya sekali lagi,
“Halo. Apakah kau merindukannya?”
Aku tertawa kecil.
Lalu aku menjawab.
“Saat ini?”
“Ya. Saat ini.”
Dengan cepat dan tanpa berpikir panjang, aku menjawab tegas,
“Tidak.”
Kudengar suaranya di ujung sana yang sedikit terkejap.
“Kenapa?”
Itulah suara yang muncul setelah sepersekian detik kita berdua terdiam.
Lalu beberapa hari kemudian, kami bertemu.
Aku dan seorang temanku itu.
Kami berbicara banyak hal.
Tentang hidup.
Tentang mimpi.
Dan tentang kerinduan.
Dan lagi-lagi, ia menanyakan hal yang sama seperti pada waktu itu.
“Kenapa waktu itu kamu menjawab “tidak merindukannya”?”
Dia bertanya dengan menatap mataku.
Dalam.
Lalu aku mengalihkan pandanganku dari matanya.
Menghindari cairan yang mengancam keluar di balik lensaku.
Aku tertawa kecil.
“Sudah terlalu lama. Dan aku lupa.”
Jawabku.
Kulihat dari sudut mataku, ia masih menatapku.
Aku tak mau kembali menatapnya karena aku tak mau kejadian yang sama terulang kembali.
Ya, kau tahu jawabannya.
Terlalu dini bagi dua orang yang baru bertemu untuk menangis dihadapan salah satunya, bukan?
Sejujurnya, aku tak tahu apa yang harus kujawab.
Belum pernah sebelumnya ada yang menanyakan hal itu kepadaku.
Dan bila pertanyaan itu disampaikannya lagi,
Jawabanku kurang lebih akan seperti ini,
Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenang seseorang.
Mengingat wajahnya saja sudah sulit.
Apalagi saat ditanya,
“Apakah kamu merindukannya?”
Jelas, aku sangat merindukannya.
Namun aku bingung,
Apa yang kurindukan dari sosok itu?
Apa yang kuingat dari sosok itu?
Suaranya saja aku sudah lupa.
Namun, beberapa hal masih kuingat.
Meski samar.
Jumat, 5 Agustus 2005.
Itu adalah hari dimana sosok itu pergi.
Meninggalkan semuanya.
Saat itu masih teringat sangat jelas dalam otakku.
Dua belas tahun kami jalani tanpa sosok itu.
Kita baik-baik saja.
Karena Yang-Memanggilnya sangat sayang dengan kami.
Lalu temanku itu membuyarkan lamunanku.
“Kamu harus selalu merindukannya. Setiap waktu.”
Aku tersenyum.
Dan tenggorokanku rasanya tercekat.
Mataku mulai panas.
Dan kupaksakan sedikit tawa dalam wajahku.
Lalu aku menatapnya.

“Ya, aku akan selalu merindukannya.”



♥, L.
Share:

Senin, 31 Juli 2017

11

Bertengkar.
Baikan.
Bertengkar.
Baikan.
Begitu seterusnya.
Banyak kenangan yang kadang membuatku merasa gembira, sedih, merenung kembali.
Dan akhirnya menangis.
Selalu menampakkan keceriaan pada semua orang.
Selalu menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.
Padahal aku tahu, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia tidak baik-baik saja.
Tapi dunia tidak perlu tahu itu.
Dia adalah salah satu orang yang membuatku kuat.
Mampu menghadapi hidup yang terkadang (hampir) membuatku menyerah.
Dia berhati besar.
Sangat besar.
Dia sangat amat merelakan kebahagiaan dirinya sendiri demi orang lain, yang dicintainya.
Tak pernah pamrih dengan apa yang dikerjakannya.
Terkadang sangat ingin aku menggantikan “posisinya”.
Sering aku merasa kasihan dengannya.
Namun dia bukan lagi anak kecil yang pantas untuk dikasihani.
Namun dia bukan lagi anak kecil yang harus diiming-imingi barang kesukaannya saat melakukan suatu hal.
Ia telah tumbuh menjadi remaja yang mandiri.
Ia telah tumbuh lebih dewasa dibanding teman-teman sebayanya.
Dan terkadang, ia lebih dewasa dibanding kita semua.
Lalu ia akan selalu dirindukan dimanapun ia berada.
Ia akan selalu dicari karena keceriaannya.
Ia akan selalu dicari karena ketulusan hatinya.
Karena meskipun ia tak pernah menyampaikan seberapa sayangnya dengan orang-orang disekelilingnya,
Seluruh dunia sudah tahu bahwa ia sangat tulus.
Bahwa ia berhati besar.
Dan Sang-Pemilik-Jagad-Raya-Ini khuhus mengirimkan sosok itu kepada kami semua.
Selamat ulang tahun, adikku.

Muhammad Najib Azhom.

♥, L.
Share: