Minggu, 15 September 2024

Heading for the sun: a birthday note. #27.

(8 min read)

Setahun terakhir ini, aku banyak menghabiskan waktuku bersama Snow White1, motor pertama yang aku beli dari hasil kerjaku. Ke Sarangan, survey buat tesis keliling DIY, ke Demak, dan yang terakhir ke Dieng. Tak terkecuali kalau aku pulang-pergi dari Jogja ke rumah. Dan perjalanan-perjalanan lain. Aku merasa waktu yang kulalui bersama Snow White adalah bentuk character developmentku2. Hahahaha. Hal-hal yang aku sukai ketika aku bersama Snow White, yang pertama dan yang paling utama adalah: aku bisa ngomong sendiri. Peringkat selanjutnya diikuti dengan kadang-kadang nangis, nyanyi, marah-marah, apapun itu. Pokoknya sesuatu yang dilakukan sendiri, dan aku menyukainya. Dan karena Snow White, aku bisa nganter umi kemana-mana. Seneng banget! Sedangkan hal-hal yang tidak ku sukai selama aku bersama Snow White adalah: ketika hujan dan kena terik matahari. Jika ditanya dari dua itu mana yang paling tidak aku sukai, dengan mudah aku akan menjawab: hujan3. Hujan bikin aku harus neduh, belum kecipratan kendaraan lain, belum repot pakai jas hujan, apalagi yang bikin kesel adalah: bikin Snow White jadi kelihatan kucel, kotor. Hhhh aku ngga suka! Terik matahari ngga bikin aku harus neduh, ngga perlu repot pakai jas hujan, dan ngga terlalu bikin Snow White kucel. Tapi terik matahari bikin aku jadi harus ekstra pakai pelindung badan—kaus kaki, jaket, kacamata hitam, dan masker. Aku paling kesel kalau lagi di perjalanan, dan menantang matahari. Bikin jidatku jadi belang (tapi kalau yang satu ini aku udah punya solusinya :’) 4). Tanganku juga jadi belang, padahal udah pakai sarung tangan. Apakah ini pertanda agar aku beli sarung tangan anti UV? Ataukah itu hanya trik marketing karena sebenernya juga sama aja kaya sarung tangan maribuan?.

Menantang matahari ketika lagi di perjalanan—menuju tujuan kita emang nyebelin (alasannya di atas). Tapi kan kita ngga bisa menghindari itu? Selama bumi masih terus berputar, pasti kita akan menghadapi si matahari itu. Tujanku selama di perjalanan, bisa jangka pendek, bisa jangka panjang. Bisa aku ke SPBU dulu, atau bisa langsung ke rumah. Tapi tujuannya satu: akhir. Yaitu matahari. Kenapa matahari? Ya ngga kenapa-kenapa sih. (TT.TT) Ehm, bentar.. bentar..

Setahun terakhir ini, aku juga suka sekali dengan kalimat, “Heading for the sun.” Ini karena aku kerap kali di perjalanan, lalu di depanku matahari. Aku seolah-olah sedang menuju matahari. Padahal engga. Aku sedang menuju tujuanku. Tapi bisa jadi tujuanku adalah si matahari itu (?). Karena kalimat itu pula, aku jadi mengulik ke ChatGPT. Apakah si-“heading for the sun” ini punya makna sendiri. Dan jawabannya adalah begini:

Yak, sodara-sodara, seperti yang telah kita duga.

Setahun terakhir ini, aku juga cukup lumayan (?) mengalami masa-masa kritis ketika menuju matahari. Menuju tujuanku. Tujuan jangka pendek, pun jangka panjang. Yang paaling aku rasakan adalah: aku terseok-seok menata rutinitasku. Rutinitas sebagai upaya aku menuju tujuanku—matahariku. Yang aku lakukan selanjutnya adalah, aku menanyakan ke teman-teman pun para seniorku, “Apa saja rutinitasmu sehari-hari?” “Bagaimana kamu mengatur waktumu?” “Bagaimana kamu belajar?” dan pertanyaan teknis lain, dengan harapan agar aku bisa menirunya untukku. Ku terapkan pada diriku. Kadang-kadang sesuai jadwal, kadang-kadang engga. Sering engganya, karena cuma di angan dan rencana dan wacana saja. Tapi sekarang aku merasa lebih baik. Lebih tertata dari sebelumnya. Aku sangat berhutang pada mereka. Terima kasih.

Konsep waktu buatku juga sangat-sangat-sangat kacau (kalau aku bisa bilang). Kenapa? Aku bahkan bingung dan dibuat melongo karena masa studiku tinggal beberapa bulan lagi. Aduh memikirkannya saja sudah bikin aku pusing dan susah. Segala pertanyaan tentang “What if..?” tentu saja ngga lepas dari aku si pemikir ini. Tapi kemudian aku bersyukur masih inget ada Yang Punya Segalanya—membuat segala hal yang ngga mungkin jadi mungkin, memiliki keluarga yang selalu support, seseorang (wow, kok nge-klaim? Hahahaha) yang menenangkanku dan selalu bilang kalau semuanya bakalan baik-baik aja (meskipun kita tau sebenernya engga. Well, tapi manifestasi memang penting), dan beberapa teman seperjuangan yang kami saling meyakinkan bersama-sama kalau kami bisa melewati ini, dan menyelesaikan ini sebelum tenggatnya. Mohon doa dan dukungannya, teman-teman pembaca. It means a lot to me! (TT.TT)

Konsep waktu yang kacau ternyata juga dialami oleh beberapa temanku. Sebagai latar belakang, akhir-akhir ini beberapa teman—seusiaku menghubungiku. Tiga diantaranya bercerita bahwa mereka putus cinta. Satu diantaranya bercerita padaku kalau hidupnya begini-begini saja. Dua yang lainnya merasa sendiri, merasa tak memiliki siapa-siapa. Aku tidak akan mengatakan bahwa semua yang mereka alami itu berhubungan denganku. Tapi aku sangat merasakan apa yang mereka alami. Aku sangat mengerti, karena beberapa diantaranya, aku pun mengalaminya—saat ini.

Salah satu dari temanku (yang bercerita padaku tadi), berkata padaku kalau di usianya yang ke-27 ini, ia merasakan keresahan yang sama ketika ia menginjak 25. Sejujurnya aku pun juga merasakan itu saat ini. Mungkin ini bisa dibilang “advanced-quarter-life-crisis” (?). Well,.. kemudian aku hanya membalasnya, “Umur-umur ganjil ii marai ra genep.” Tentu saja aku menulisnya dengan kesadaran penuh. Lalu temanku itu hanya tertawa.

Sedangkan temanku yang lain, yang putus cinta, mempertanyakan mengapa ini terjadi saat ini, saat usianya menginjak 27. Disaat teman-teman yang lain sedang merencanakan untuk pernikahannya, sementara ia kali ini harus gagal. Ku katakan padanya, mungkin ini yang terbaik, lebih baik selesai saat ini, saat belum memulai kehidupan baru. Lalu ia menangis. Aku juga ikut menangis bersamanya.

Sering kali juga aku berterima kasih (seringnya tak tersampaikan secara langsung) pada teman-temanku yang kerap bercerita padaku, mengeluhkan hidupnya, karena berkat mereka, setidaknya aku tidak merasakan kesusahan ini sendiri. Karena berkat mereka, kami bisa menangis bersama-sama. Kadang ketika masa sulit itu datang, seorang teman menghubungiku basa-basi, lalu kami membicarakan tentang liburan. Kemana saja. Ke tempat-tempat yang belum pernah kami datangi. Meskipun pembicaraan tentang liburan dan segala itinerary-nya ditutup dengan tanpa kesimpulan, setiap waktu sulit itu datang, kami akan kembali membicarakannya. Kami selalu senang dengan pembicaraan kosong itu. Seolah-olah memberikan harapan kalau kami bisa hidup lebih lama. Dan (mungkin?) lebih bahagia.

Aku tidak tahu bagaimana hidup akan membawaku. Dulu aku pernah berkata bahwa aku harus terus berjalan, setidaknya agar nanti, aku di masa mendatang tidak menyesal karena aku tidak bergerak sama sekali. Mungkin sekarang—saat ini aku juga akan mengatakan hal sama pada diriku. Namun sekarang, mungkin, di tengah perjalanan itu aku akan berhenti sejenak. Entah untuk beristirahat, mengisi bahan bakar, atau untuk menikmati perjalananku.

Tentu saja aku punya rencana untuk hidupku. Namun jika dalam rencana itu melibatkan orang lain, sering kali aku harus belajar untuk merelakan jika suatu saat rencana itu tidak berjalan untukku. Dan memang harusnya begitu.

Tahun ini, di usiaku saat ini, aku berharap kecemasanku tentang apa dan yang akan aku jalani bisa perlahan berkurang. Aku menjaga ekspektasi dan standardku agar aku tidak melewati batas dan berujung pada hal-hal yang tidak baik (untukku, maupun orang-orang yang berhubungan denganku). Kalau tahun lalu aku belajar mencintai dengan cara yang ngga mudah, tahun ini aku kasih kesempatan buat diriku untuk dicintai dengan cara yang belum pernah aku bayangkan; dari orang-orang yang mencintaiku apa adanya, yang tetap melihat aku walaupun aku lagi berantakan—ajur, babak bundhas, ra karu-karuan. Sama pentingnya dengan ketika kita belajar mencintai, jangan lupa juga belajar buat menerima cinta. Jadi, kalau suatu hari nanti ada batu besar yang menghalangi jalanku, aku yakin akan ada tetesan air yang bakal bantu aku melewatinya lebih cepat. Dan kalau nanti ada badai yang coba meruntuhkan tekadku, aku yakin akan ada sinar yang bakal menuntun aku keluar dari masalah itu.

“Heading for the sun” punya makna yang besar dan cukup relevan denganku, mungkin ngga cuma buat saat ini aja, tapi buat banyak tahun kedepan. Mungkin akan relate dengan teman-teman yang baca saat ini juga. Makanya kalimat itu aku jadiin judul buat catatan ulang tahunku yang ke-27 ini. Professorku berkata padaku, “Cepat selesaikan, ‘cause everyone is busy.” Maka, itu yang ada di tanganku sekarang, karena semua orang sibuk, semua orang punya hidup dan rencananya masing-masing, then I have to stand on my own feet, cry on my own shoulders, and get that f sun for myself. ‘Cause I’m not the only one who suffers.

Jadi, 27, mari kita bersama-sama melewati dan menikmati ini dengan berjalan-jalan. Please be kind, ‘cause this is my v first time living this life.

 ---------------------------------------- 

1)             Kenapa aku ngasih nama di motorku? Karena salah seorang temenku ada yang nanya ke aku apakah aku akan ngasih nama untuk motorku—dan ketika ku jawab “Belum tau,” dia menyarankan untuk memberi nama. Karena dia pun memberi nama untuk motornya. Dan kenapa namanya Snow White? Hmmm.. mungkin karena warnanya putih? Well, aku juga ngga tau. Hanya nama itu yang terlintas di kepalaku. Aku merawat Snow White seperti aku merawat diriku sendiri. Aku rajin service dan ganti oli tiap 2000 km. Aku rajin isi nitrogen tiap dua minggu biar jalannya Snow White ngga liuk-liuk (?) kalau ngelewatin marka jalan. Aku sering mencuci dia (di cucian motor dan kalau lagi ngga males jii1aAa4akKkHhhH) untuk dapet kupon nyampe 10, dan biar bisa ditukerin 1 kali cuci. Aku pernah ganti kulit jok gara-gara dia terluka karena arang cak sate (INI NANGIS BANGET SIH).

2)             Gimana engga, aku nyaris tiga tahun penuh ngga mengendarai motor, dan karena keadaan, akhirnya aku memberanikan diri pakai motorku sendiri. Kadang-kadang perginya jauh di jalan yang ramai dan barengan sama kendaraan besar dan berat, lagi.

3)             Aku pernah baca di Twitter (sy anaknya chronically online), orang yang lama hidup miskin cenderung lebih ngga suka sama hujan dibanding panas. Logically bener, dan aku setuju. Mari kita bahas. Pertama, di negara tropis. Hujan bikin banjir, belum kalau atap bocor bikin lantai jadi lembab, parahnya kalau kena kasur atau tumpukan baju bersih jadi lembab juga (dan basah?), dingin, kalau naik motor semua-muanya jadi kotor, jemuran ngga kering bikin apek, belum kalau kecoa masuk ke rumah. Hhhhh. Bikin males. Inget film Parasite? Nah. Kaya gitu. *insert meme pak supir dan majikannya yang lagi di mobil*

Orang yang tidak lama hidup miskin—yaa katakanlah mereka yang sejahtera, ngga relate dengan itu. Rumah dengan atap full plafon ngga bikin lantai jadi lembab, pakai kendaraan yang ada atapnya (wkwk) bikin ngga khawatir kalau kehujanan apalagi kecipratan.

Kedua, di negara empat musim. Para homeless cenderung banyak yang meninggal di musim dingin dibanding musim panas. Musim dingin bikin mereka yang ngga punya pakaian hangat jadi hipotermia, lalu meninggal.

4)             Aku ada hack buat ngatasin (atau mengurangi?) biar jidat ngga belang: pakai masker di jidat juga. (TT.TT)


Terima kasih banyak teman-teman sudah membaca sampai akhir. 
Semoga kita semua sehat selalu, bisa memanfaatkan waktu yang tersisa ini dengan sebaik-baiknya. Dan semoga kita ngga masuk ke golongan orang-orang yang merugi. Aamiin.

JANGAN LUPA MINUM AIR PUTIH YANG BANYAK, YAAAHHH!!  ❤



15 September 2024.

Salam semanis gulali,

Lathiifah Thawafani.

Share:

Rabu, 31 Juli 2019

27



Waktu selalu berjalan maju.

Dan pada masa-masa perjalanan itu, banyak hal yang senantiasa bisa untuk dipelajari.

Tentang perjalanan, sudah barang tentu ditemui jalan yang terjal, lurus, bergelombang, halus, rusak, baik, sedang diperbaiki, dan sebagainya-dan sebagainya.

Dan pada setiap jalan itu, tentu kita menjumpai banyak hal yang memberikan kesan dan melekat pada diri ini sehingga membentuk bagaimana menjalani jalan-jalan ke depan hingga akhirnya tiba di tujuan.

Orang-orang yang ditemui pada persimpangan jalan layaknya orang-orang yang pernah singgah di kehidupan ini.

Rambu-rambu yang ada di perjalanan bak peringatan bagi pengguna jalan.

Untuk berhati-hati,

Untuk berhenti sejenak menghela nafas,

Untuk tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Sehingga saat sampai di tujuan nanti,

Jangan sampai melupakan apa saja yang membuat kita bisa tiba dengan selamat.



TL;DR : Semoga kita semua senantiasa ingat dengan “dasar-dasar” yang membentuk kita selama ini.



-L.
Share:

Minggu, 30 Juni 2019

Tulisannya Ifa - 10

Abis Ini Mau Ngapain? 



Well, teman-teman. Sebenernya udah nyiapin tulisan buat momen ini tuh udah l4mAAAAAAAAAAA banget. Tapi, belum nemu judul yang pas. Dan ternyata, kemarin (29/6) tepat di momen itu, terlintas pertanyaan dari temen, “Abis ini mau ngapain Fa?”. Dan jadilah pertanyaan itu sebagai judul di tulisan ini.

Dan disinilah aku, membuang tulisanku kemarin yang udah jadi, dengan tulisan baruku ini. Sebenernya tulisannya ngga terlalu beda jauh sama apa yang aku mau tulis ini. Tapi, ya.. mumpung masih fresh, jadi mari kita mulai saja.

Selamat pagi, teman-teman pembaca Tulisannya Ifa yang budiman dan baik hatinya!

Meskipun bacanya di siang/sore/malem, semoga semangatnya tetep pagi terus. Atau malah mager karena sekarang dingin-dingin terus?

Anyways, pertanyaan “basi” yang muncul saat seseorang sudah menyelesaikan satu dari tahapan hidupnya biasanya apa? Exactly.

“Abis ini mau ngapain?”

Kenapa gitu?

Setiap hidup manusia punya tahapannya.

Kita menjadi manusia, mengalami empat alam:

1. Alam Rahim

2. Alam Dunia

3. Alam Kubur

4. Alam Akhirat

Sedangkan (secara umum) dalam tiap alam itu, tentunya ada tahapannya. I mean, proses.

Kita ambil contoh di Alam Rahim. Di Alam Rahim yang sempit dan gelap ini, kita pertama kali ditiupkan Ruh oleh Allah (source: Q.S Sajdah: 9), abis itu daging, tulang belulang hingga akhirnya menjadi manusia (source: Q.S Al-Mu’minun: 12-14).

Setelah lahir ke dunia, manusia punya tahapan lagi (secara umum, ya, guys). Awalnya bayi, terus masuk TK/PG, terus SD-SMP-SMA-Kuliah/Kerja-Menikah-Punya Anak-Sukses di Karirnya-Tua-Meninggal. Nah, tentu dalam setiap tahapan itu ada prosesnya. Dan proses inilah yang menentukan apakah di alam selanjutnya kita pantas menerima imbalan, atau, malah mendapatkan hukuman.

Jadi, jangan sensi kalau ada yang nanyain “Abis ini mau ngapain?”

Ya karena emang dalam setiap fase kehidupan itu punya tahapan-tahapannya masing-masing.

Misalnya aku sekarang, lahir-TK-SD-SMP-SMK-Kuliah-???

Tiga tanda tanya itu, adalah apa yang orang-orang saat ini tanyakan ke aku.

Dan jawabanku dari pertanyaan mereka adalah, “InsyaAllah mau kerja dulu. Mohon doanya semoga diberikan yang terbaik.” Kalau abis di jawab gini, biasanya ada pertanyaan lanjutan lagi. “Mau kerja dimana?” JENG JEEENGGG!!!

Kalau untuk jawaban itu, secara pribadi, menurutku itu adalah hal yang sensitive. Itulah kenapa sebelumnya, aku jawabnya pakai “Mohon doanya semoga diberikan yang terbaik.”

Kenapa?

Tentu aku punya pilihan/daftar mana aja tempat yang aku pengin dan berniat dan mau untuk bergabung di sana. Dan pilihan itu juga ada daftar prioritas juga, tentunya. Namun, kalau aku jawab nama tempat, biasanya ada sedikit rasa yang rada gimanaaa gitu. Wqwqwq. Tau maksudku ngga? XD yaa intinya gitu lah yaa.

Selain itu, pertanyaan feedback selain “Mau kerja dimana?” adalah “Ngga mau lanjut sekolah lagi?”

Yaaa siapa siiih yang ngga pengin lanjut sekolah lagi? Kayanya sebagian besar orang juga pengin kaya gitu. Tapi kan kita melihat kemampuan dan kemauan yang ada. Dan dua hal itu juga harus seimbang.

Nyempil mau cerita, beberapa waktu yang lalu, abis lebaran kalau ngga salah. Sempet ngobrol sama temen.

Setelah cerita tentang bUAnyAAAAkkk sekali “permasalahan” hidup kita, sampai akhirnya dia nanya, “Kamu masih mau lanjut kuliah, Fa?”

“Hehehe”

“Coba deh, dipikirin kalau sekarang kamu mau kerja dulu. Mau berapa lama? Dua tahun? Abis itu lanjut sekolah dua tahun lagi. Kamu serius? Dua tahun itu bisa bikin karirmu berkembang, kalau mau usaha, dua tahun itu bisa buat merintis dan akhirnya bisa gede (kelak). Kalau mau kerja di perusahaan, dua tahun itu bisa buat kamu jadi orang penting. Sayang waktunya. Jadinya malah buang-buang waktu. Coba di pikir-pikir lagi, deh.”

Setelah perbincangan yang panjang, akhirnya aku jawabnya, “Aku paham dan aku ngerti itu. Nah, ini bedanya aku sama kamu. Kalau menurutku, sekolah lagi tuh ngga ada salahnya dan ngga buang-buang waktu. Soalnya nyari ilmu=berlomba-lomba dalam kebaikan=nyari pahala. Kerja=nyari nafkah=nyari pahala. Sebenernya sama aja, muaranya sama-sama buat mencari ridho nya Gusti. Tapi dengan cara yang berbeda.”



Balik lagi, semua orang punya impiannya masing-masing. Aku, bahkan, sudah menuliskan pencapaian-pencapaian apa yang harus aku raih sampai lima tahun ke depan. Ini sudah ku lakukan mulai awal kuliah. Banyak orang yang menganggap hal itu adalah hal yang ngga penting. But, hey! Mostly I achieved what I wrote there.

Kita ngga akan pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Apa yang akan terjadi satu jam lagi, besok, satu minggu ke depan, satu bulan ke depan, satu tahun ke depan, sepuluh tahun ke depan, lima puluh tahun ke depan. Semuanya itu adalah misteri. Tapi kita harus punya target. Mimpi. Kalau ngga punya mimpi, terus mau ngapain? Ngikutin arus? C’mon.

Yang terpenting sekarang adalah, siapin diri kita untuk menghadapi semuanya itu, entah itu akan menemui kegagalan atau bahkan mungkin keberhasilan, kita ngga pernah tau.

Yang terpenting sekarang adalah, siapin diri kita untuk mencapai impian kita, entah itu akan berakhir dengan raihan dari capaian impian kita, atau bahkan ngga mencapai impian kita itu, malah mencapai hal lain yang ngga kita duga-duga.

Karena gagal atau berhasil; adalah apa yang kita pikirkan dan lihat dari sebuah hal. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Karena mimpi yang tercapai ataupun tidak; adalah apa yang kita lakukan selama berproses untuk mencapai mimpi itu. Bukan hasilnya. Prosesnya itu yang akan dipertanggungjawabkan.

Seperti yang disampaikan guruku waktu pembekalan untuk wisudawan/wati (27/6) “Selama kita berusaha mencapai sesuatu, serahkan semuanya sama Allah. Kita harus berusaha keras, tapi setelah itu harus dikembalikan lagi kepada Allah. Karena muaranya disana. Dan selama ada Dia di hati kita, insyaAllah kita ngga akan kehilangan arah.”



Nah, sekarang, sebagai seorang lulusan baru, tentu aku punya mimpi. Seperti apa yang sudah kusampaikan di atas.

Teman-teman semua juga harus punya mimpi. Biar punya target. Biar punya tujuan. Biar ngga hilang arah.

Jangan takut sama masa depan. Jangan khawatir sama besok-besok. Sebuah analogi, kalau kata Mbah Sudjiwo Tedjo gini:





Kita diberikan akal, buat mikir. Ya di manfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jangan buat mikirin doi terus. Iya kalau doi mikirin kamu, (eh aku ding). Kalau engga? Kan jadinya bertepuk sebelah tangan.



Intermezzo, guys.



Nah, tanggung jawabku sekarang adalah: mengaplikasikan ilmu yang selama ini didapatkan untuk kemaslahatan ummat. Wahahahaha. Berat ya? ya memang. Itulah kenapa kalau abis lulusan, kebanyakan doanya, “Semoga ilmu yang diperoleh selama ini bermanfaat untuk kedepannya.”



Balik lagi, kita semua punya tanggung jawab atas ilmu yang kita punya. Tentu untuk membawa hal-hal yang salah menuju benar. Tentu untuk membuat diri kita, orang-orang terdekat kita, dan masyarakat semakin lebih baik lagi. Karena kita, sebagai manusia di bumi, tugasnya adalah sebagai khalifah (source: Q.S. Al-Baqarah: 30). Karena manfaatnya adalah dalam kehidupan ini, dan tentu, untuk kehidupan setelah di dunia. Karena yang kekal di sana.



Terakhir, sebelum aku tutup, karena kayanya udah panjaaaang banget aku nulisnya. Intinya adalah, jangan sensi kalau ada yang nanyain “Abis ini mau ngapain?” kalau kamu sensi, berarti kamu ngga siap sama ke depannya gimana. Hehehe.



Oh iya, sekalian menyampaikan terima kasih banyak untuk teman-teman semua yang hadir dan/atau memberikan bingkisan dan/atau memberikan doa dan/atau memberikan selamat, terima kasih banyak untuk semuanya. Terima kasih banyak untuk kebaikan-kebaikannya. Semoga Allah merahmati kita semua. Aamiin.



Dan poin yang ingin kusampaikan semoga bisa tersampaikan ke teman-teman pembaca semua.



tl;dr : “Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain.” (QS. Al-Insyirah: 7)



Terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah membaca sampai akhir, semoga dapat bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Sekiaaannn~~~

Sampai bertemu di Tulisannya Ifa yang selanjutnya!



♥,
-L.

Share:

Jumat, 31 Mei 2019

26



Malam ini aku pulang dengan peluh penuh kekecewaan.

Kulipat lengan bajuku,

Sambil menatap nanar kendaraan yang berlalu-lalang di depanku.

Malam ini,

Di bawah pancaran lampu kuning—atau oranye?

Aku melihat kekalahan ku jauh di ujung jalan sana.

Malam ini,

Di bawah balutan mendung—sungguh aku merindukan bulan akhir-akhir ini.

Langit melihatku seakan ia mengerti apa yang terjadi padaku.

Aku pernah berjuang pada saat itu.

Aku pernah berharap banyak pada saat itu.

Namun kini, kesemuanya seperti asap kendaraan bermotor di depanku yang lalu tiba-tiba menguap menjadi gumpalan awan hitam yang menutupi langitku.

Kulangkahkan kakiku.

Aku menatap kosong jalan trotoar di depanku.

Mataku panas.

Oh tidak,

Ia mengeluarkan cairan.

Segera kuusap cairan itu sebelum ia membasahi pipiku.

Aku mengaduh,

Aku bertanya-tanya.

Kurangkah usahaku selama ini?

Kurangkah do’aku selama ini?

Kurangkah kebaikan-kebaikan yang kulakukan selama ini?

Ataukah kesemuanya tertutup dengan dosa-dosa kecilku yang tak terasa telah menggunung?

Ataukah kesemuanya menghilang seiring dengan banyaknya kesombongan-kesombongan yang tak terasa sering kali kulakukan tanpa aku menyadarinya?

Cairan ini tak terbendung.

Aku terisak.

Aku menunduk.

Aku tak kuasa berdiri.

Aku kalah dengan diriku sendiri.




-L.
Share:

Selasa, 30 April 2019

25

Kita adalah jalan sepanjang 268 kilometer membentang diantara pulau jawa.
Kita adalah malam bertabur bintang dan pagi berselimut kabut.
Kamu adalah udara dingin di puncak pulau jawa,
Dan aku adalah gerimis yang merintik di bukit pulau jawa.

Kita adalah sepasang jalan menuju danau di pegunungan itu.
Kita adalah gumpalan awan hitam yang melangit.
Kamu adalah jeruk yang manis,
Dan aku adalah apel yang manis.

Kita adalah sebuah perjalanan yang menjadi memori.
Kita adalah sebuah perjuangan yang menjadi abadi.
Kamu adalah air yang mengalir di jalanan menurun yang kita lalui.
Yang aku relakan untuk pergi, bermuara pada tempatmu seharusnya.
Dan aku harus melepaskanmu seperti air danau yang menguap dihisap awan di siang yang memanas.

19 Maret 2019.
Share:

Minggu, 31 Maret 2019

24


sejak aku menginjakkan kakiku di tempat ini, semuanya seketika menyatu.
sejak aku melangkahkan kakiku di jalan ini, semuanya seketika memperhatikanku.
hari ini, aku kembali lagi ke tempat ini setelah bertahun-tahun meninggalkannya.
kusapa anak pemilik rumah ini, yang sungguh, aku mengenalnya dengan amat baik.
ia lupa denganku.
kuperkenalkan diriku, lalu mempersilakanku masuk untuk menemui sosok pemilik rumah yang kucari.
aku masuk, mengucapkan salam.
lalu kudapati sebuah ruangan kecil, di samping ruanganku dulu.
ruang yang menjadi saksi bisu perjalananku selama tiga tahun.
ruang yang menjadi rumah keduaku selama tiga tahun.
ruang yang menjadi tempatku kembali.
di dalam ruangan kecil itu, sosok yang kucari sedang duduk di atas tempat tidur.
seketika aku tercekat.
dadaku sesak.
mataku panas.
(dan saat aku menuliskan ini, air mataku jatuh. tak dapat terbendung.)
kupaksakan sebuah senyum.
ku tarik ujung bibirku agar membentuk senyuman yang tulus.
untuk beberapa detik, aku kembali tersadar.
kuperkenalkan diriku kembali, berjaga-jaga jikalau sosok itu tidak mengenaliku.
"Aku ingat."
katanya.
tubuhnya semakin kurus.
kuberikan tanganku.
ia sulit menjabat tanganku.
semua kenangan baik tentang kita pada masa itu seketika menghampiriku.
aku bertanya basa-basi kepadanya.
selama kami berbincang, ia menghindari kontak mata denganku.
hatiku semakin sakit.
nafasku mulai sulit.
sepuluh menit waktu berjalan, rasanya seperti mengembalikan segala kenangan kami selama tiga tahun bersama.
aku mengenali tempat itu dengan baik.
aku mengenali sosok itu dengan cukup baik.
dan saat ini,
aku hanya ingin menangis.
tapi aku harus tetap terlihat ceria di matanya.
dalam detik selanjutnya, kuputuskan untuk mengundurkan diri dari hadapannya.
kuberikan tanganku, kuucapkan salam padanya.
saat aku berada di ujung pintu, ia memanggilku.
menanyakan sesuatu padaku.
aku tertawa.
---terpaksa tertawa, lebih tepatnya.


aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah itu.
banyak yang tertinggal disana.
banyak yang membuatku selalu ingin menangis disana.


cepat sembuh, Pak.
maaf karena Ifa baru sempat menemuimu.


-L.
Share:

Kamis, 28 Februari 2019

23



Aku berjalan.

Menyusuri kenangan yang ternyata sudah enam tahun lamanya ia merangkak.

Menuju sebuah kebahagiaan?

Entahlah.

Yang pasti ia membawaku hingga ke titik ini.

Saat dimana tangisan dan segala macam kepedihannya adalah temanku sehari-hari.

Jauh.

Sepi.

Sendiri.

Lalu menghilang.

Membawa dua-tiga hal yang aku yakini sebagai pertanda bahwa aku pernah menangis dan terbawa di jalan ini.

Kuucapkan terima kasih untuk segala luka dan kepedihan yang pernah ada.

Aku benar-benar mencintaimu,

Dengan sepenuh hatiku.



Selasa, 26 Februari 2019.
Share: