Selasa, 05 Juli 2016

6


Buat Ramadhan Kali Ini Membalas Kekalahan Kita

Bulan menyembunyikan senyumnya yang merekah di malam genap ini.
Tak seperti malam sebelumnya yang selalu memamerkan pancaran karismatiknya yang membuat insan ini mengkerut.
Sisa-sisa hujan masih jelas terasa di serambi masjid Abu Bakar.
Hingga membuat rok biru yang terbelai angin ini menjadi basah.
Insan ini terdiam.
Berbalik badan ke arah luar masjid yang masih ramai oleh anak-anak atau lebih tepatnya ikhwan dan akhwat yang masih bersendau gurau karena selesai berbuka.
Pemilik rok biru yang basah ini mulai mengasingkan diri dari teman-temannya.
Entah apa yang terpikirkan.
Lalu tersenyum.
Bersyukur atas seluruh nikmat tak terhingga sampai ia hidup saat ini.
Malam-malam satuan dan belasan membuatnya jauh dengan Sang Mahasuci.
Dunia sekuler menjijikkan membelenggu dirinya yang kecil tak berdaya.
Entah dunia itu yang menjauhkannya dari Sang Pencipta ataukah memang dirinya sendiri yang sebenarnya menjauhkan diri dari Sang Pemilik Jagad Raya ini.
Urusan-urusan dunianya membuatnya terlena.
Tak ingatkah ia dengan Sang Pemberi Kemudahan dalam setiap urusan-urusannya?
Tak ingatkah ia dengan Sang Pengabul Doa dalam setiap hembusan napas dan detak jantungnya?
Tak ingatkah ia dengan Sang Pelindung yang selalu menjaganya dari yang bathil?
Semudah itukah dunia membalikkan kecintaannya pada Sang Khalik?
Semudah itukah urusan-urusan dunia membuatnya jauh dengan Sang Pemberi Rizki ditengah-tengah kesucian bulan yang sangat ditunggu oleh orang-orang shaleh?
Sungguh dunia telah melenakannya.
Istighfar.
Mimik wajahnya mulai berubah.
Belaian angin menambah suasana ambigu antara panas di dalam dirinya dengan dinginnya petang ini.
Mesranya suara gemerisik dedaunan berbanding terbalik dengan suasana hatinya.
Pandangannya masih tertuju pada langit petang yang mendung.
Mati.
Waktu.
Ideologi.
Agama.
Prinsip.
Radikal.
Realistis.
Materialistis.
Sekuler.
Kapitalis.
Dan sebagainya-dan sebagainya.
Terlalu banyak waktu yang disia-siakan.
Hingga akhirnya malah menyalahkan dirinya sendiri karena penyesalan.
Dunia terlalu munafik untuk termaafkan.
Hingga akhirnya malah menyalahkan dirinya sendiri karena kesakitan.
Gadis dengan rok biru itu kalah.
Kalah dengan dunianya.
Kalah akan nafsu yang memenjarakannya.
Lantas apa yang harus dilakukannya supaya dia bisa menang?
Rok biru yang basah perlahan mulai mengering.
Jilbab dan baju yang lebih besar dari tubuhnya membuat insan ini tampak lebih kecil karena baju yang tertiup angin malam.
Namun apalah arti kecil bila kita dapat melakukan suatu perubahan yang membuat insan ini besar?
Maka berkumandanglah adzan isya' yang membuyarkan lamunannya.
Di sudut matanya yang bebinar tampak seorang berbaju merah bata dengan sarung kotak-kotak biru berjalan ke arah masjid.
Maka insan ini menoleh tepat ketika dia mulai melepaskan alas kakinya.
Dan tepat pada saat itu mereka berdua bertatapan.
Berubah itu tidak mudah, maka berusahalah.
Berusaha untuk tetap menjaga akhlaknya sebagai wanita muslim.
Berusaha untuk memperbaiki dirinya untuk mendapatkan apa yang pantas didapatkannya.
Berusaha untuk meningkatkan kualitas ibadahnya pada Rabbi untuk tetap istoqamah.
Istiqamah dalam kebaikan.
Semuanya adalah cara untuk menemukan diri sendiri.
Maka saat gadis dengan rok biru ini telah menemukan siapa dirinya yang sebenarnya dan telah menemukan untuk tujuan apa ia ada di dunia ini, saat itulah ia mengenal Rabb nya.
Banyak yang didapatkan oleh insan ini selama sepuluh hari terakhir ini.
Maka nikmat Allah yang mana yang kamu dustakan?
Istighfar.
Terlalu banyak kufur tapi sedikit bersyukur.
Bagaimana bisa kita benar-benar menjadi ummat Nabi jika selama ini tidak menjalankan sunnah-sunnah beliau?
Maka laki-laki bijak setengah baya itu malu saat meminta pada Rabbnya untuk diberikan kesehatan namun pada saat Nabi dan para sahabatnya juga meminta diberikan kesehatan dan kebaikan namun toh beliau, orang-orang kesayangan Allah itu pun juga mati.
Laki-laki bijak setengah baya itu malu pada Allah karena telah banyak meminta namun ia tak ada apa-apanya dengan Nabi dan para sahabat.
Jika seperti itu.
Maka siapalah gadis dengan rok biru ini dimata Rabbnya?
Istighfar.
Maka insan ini bertekad untuk berubah.
Maka semua perubahan yang besar berasal dari.
Niat yang besar.
Keinginan yang besar.
Mimpi yang besar.
Dan kerinduan terhadap Rabbi yang besar.
“Dan saat ini, kalian layaknya logam. Sebelum dan setelah ditempa namanya akan tetap logam. Namun ia menjadi berbeda. Lebih berkualitas. Maka kalian memiliki niat tinggi saat i'tikaf dan setelah i'tikaf kalian akan berubah menjadi lebih baik seperti apa yang kalian niatkan.”, ucap laki-laki bijak paruh baya itu.
Maka Yaa Lathiif, ijinkan tahun depan gadis dengan rok biru ini masih bisa menikmati indahnya Bulan Penuh Berkah, Ramadhan.
Dan buat gadis dengan rok biru ini menjadi pribadi muslimah yang lebih baik lagi.
Tingkatkan rasa kecintaannya pada-Mu melebihi apapun yang ada di dunia ini.
Jangan buat ia terlena dengan dunianya.
Ingatkan dia dengan akhirat-Mu yang kekal.
Maka terimalah seluruh ibadah dari insan ini agar ia dapat membalas kekalahannya yang lalu.
Maka terdengar iqamah merdu yang dilantunkan muadzin.

Yogyakarta, 27 Ramadhan 1437 H.



-Gadis Dengan Rok Biru-

Share: