Seorang
teman pernah bertanya padaku,
“Apakah
kau merindukannya?”
Aku
terdiam sejenak.
Berpikir,
Lalu
aku tersenyum, meski ia tak melihatku.
Dia
bertanya sekali lagi,
“Halo.
Apakah kau merindukannya?”
Aku
tertawa kecil.
Lalu
aku menjawab.
“Saat
ini?”
“Ya.
Saat ini.”
Dengan
cepat dan tanpa berpikir panjang, aku menjawab tegas,
“Tidak.”
Kudengar
suaranya di ujung sana yang sedikit terkejap.
“Kenapa?”
Itulah
suara yang muncul setelah sepersekian detik kita berdua terdiam.
Lalu
beberapa hari kemudian, kami bertemu.
Aku dan
seorang temanku itu.
Kami
berbicara banyak hal.
Tentang
hidup.
Tentang
mimpi.
Dan
tentang kerinduan.
Dan
lagi-lagi, ia menanyakan hal yang sama seperti pada waktu itu.
“Kenapa
waktu itu kamu menjawab “tidak merindukannya”?”
Dia
bertanya dengan menatap mataku.
Dalam.
Lalu
aku mengalihkan pandanganku dari matanya.
Menghindari
cairan yang mengancam keluar di balik lensaku.
Aku
tertawa kecil.
“Sudah
terlalu lama. Dan aku lupa.”
Jawabku.
Kulihat
dari sudut mataku, ia masih menatapku.
Aku tak
mau kembali menatapnya karena aku tak mau kejadian yang sama terulang kembali.
Ya, kau
tahu jawabannya.
Terlalu
dini bagi dua orang yang baru bertemu untuk menangis dihadapan salah satunya, bukan?
Sejujurnya,
aku tak tahu apa yang harus kujawab.
Belum
pernah sebelumnya ada yang menanyakan hal itu kepadaku.
Dan
bila pertanyaan itu disampaikannya lagi,
Jawabanku
kurang lebih akan seperti ini,
Dua
belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenang seseorang.
Mengingat
wajahnya saja sudah sulit.
Apalagi
saat ditanya,
“Apakah
kamu merindukannya?”
Jelas,
aku sangat merindukannya.
Namun
aku bingung,
Apa
yang kurindukan dari sosok itu?
Apa
yang kuingat dari sosok itu?
Suaranya
saja aku sudah lupa.
Namun,
beberapa hal masih kuingat.
Meski
samar.
Jumat,
5 Agustus 2005.
Itu
adalah hari dimana sosok itu pergi.
Meninggalkan
semuanya.
Saat
itu masih teringat sangat jelas dalam otakku.
Dua
belas tahun kami jalani tanpa sosok itu.
Kita
baik-baik saja.
Karena
Yang-Memanggilnya sangat sayang dengan kami.
Lalu
temanku itu membuyarkan lamunanku.
“Kamu
harus selalu merindukannya. Setiap waktu.”
Aku
tersenyum.
Dan
tenggorokanku rasanya tercekat.
Mataku
mulai panas.
Dan
kupaksakan sedikit tawa dalam wajahku.
Lalu aku
menatapnya.
“Ya,
aku akan selalu merindukannya.”
♥, L.
♥, L.