Suatu hari di Bulan September 2017.
Terik matahari di pertengahan bulan itu membuat kulit kami terbakar.
Terlebih saat ini kami sedang berada di atas tebing menuju sebuah pantai yang cukup indah.
Kami harus turun, melewati anak tangga yang sungguh licin.
Meskipun saat ini matahari sedang terik-teriknya.
Kusaksikan pantai laut selatan memantulkan cahaya matahari dengan begitu gagahnya.
Meleburkan gumpalan awan putih dan buih di lautan dengan deburannya hingga membuat mereka mengalah dengan mudahnya oleh pesona lautan dan sang surya.
Deburan ombak berpadu dengan angin yang cukup kencang membuat jilbabku harus kutahan agar tidak kemana-mana.
Sungguh, ini indah sekali.
Sesampainya di pantai, aku duduk di bawah pohon—aku tak tahu namanya—tepat beberapa langkah dari bibir pantai yang penuh bebatuan.
Kulihat sepasang kekasih duduk berdua, jauh di sebelah kananku.
Namun aku masih bisa melihat mereka sedang berangkulan.
Ya.
Pantai ini cukup sepi.
Hanya ada empat orang disini.
Atau sebenarnya ada lebih dari kami, namun aku tak melihatnya.
Kusaksikan dirinya berjalan mendekati pantai dengan bebatuan dan karang yang menjulang ke atas seakan menantang mega.
Sementara aku membeku—masih di bawah pohon itu.
Matahari sudah condong ke barat saat kami melanjutkan perjalanan.
Kuperhatikan semburat kuning-oranye-melebur dengan birunya langit-di atas kepalaku.
Sampai di tempat istirahat, kulepas sepatuku, kudapati ia merengek untuk digantikan dengan yang baru.
Hhh.
Perjalanan waktu itu benar-benar melelahkan hingga membuat ia melepaskan diri dari sol-nya.
Baiklah, Sayang, kamu perlu istirahat.
Sudah bertahun-tahun kamu menemani perjalananku.
Pukul delapan malam, kami meninggalkan daerah itu dengan sejuta kenangan yang tertinggal.
Hanya angin malam dan suara deburan ombak dan asap kendaraan dan keringat yang masih tertinggal dan terbawa hingga kami pulang.
Suatu hari di Bulan September 2017, yang akan ku kenang sebagai hari dimana semesta sungguh memanjakan kami dengan teriknya matahari dan sepoi angin di tanah gersang ini.
-L.