Minggu, 15 September 2024

Heading for the sun: a birthday note. #27.

(8 min read)

Setahun terakhir ini, aku banyak menghabiskan waktuku bersama Snow White1, motor pertama yang aku beli dari hasil kerjaku. Ke Sarangan, survey buat tesis keliling DIY, ke Demak, dan yang terakhir ke Dieng. Tak terkecuali kalau aku pulang-pergi dari Jogja ke rumah. Dan perjalanan-perjalanan lain. Aku merasa waktu yang kulalui bersama Snow White adalah bentuk character developmentku2. Hahahaha. Hal-hal yang aku sukai ketika aku bersama Snow White, yang pertama dan yang paling utama adalah: aku bisa ngomong sendiri. Peringkat selanjutnya diikuti dengan kadang-kadang nangis, nyanyi, marah-marah, apapun itu. Pokoknya sesuatu yang dilakukan sendiri, dan aku menyukainya. Dan karena Snow White, aku bisa nganter umi kemana-mana. Seneng banget! Sedangkan hal-hal yang tidak ku sukai selama aku bersama Snow White adalah: ketika hujan dan kena terik matahari. Jika ditanya dari dua itu mana yang paling tidak aku sukai, dengan mudah aku akan menjawab: hujan3. Hujan bikin aku harus neduh, belum kecipratan kendaraan lain, belum repot pakai jas hujan, apalagi yang bikin kesel adalah: bikin Snow White jadi kelihatan kucel, kotor. Hhhh aku ngga suka! Terik matahari ngga bikin aku harus neduh, ngga perlu repot pakai jas hujan, dan ngga terlalu bikin Snow White kucel. Tapi terik matahari bikin aku jadi harus ekstra pakai pelindung badan—kaus kaki, jaket, kacamata hitam, dan masker. Aku paling kesel kalau lagi di perjalanan, dan menantang matahari. Bikin jidatku jadi belang (tapi kalau yang satu ini aku udah punya solusinya :’) 4). Tanganku juga jadi belang, padahal udah pakai sarung tangan. Apakah ini pertanda agar aku beli sarung tangan anti UV? Ataukah itu hanya trik marketing karena sebenernya juga sama aja kaya sarung tangan maribuan?.

Menantang matahari ketika lagi di perjalanan—menuju tujuan kita emang nyebelin (alasannya di atas). Tapi kan kita ngga bisa menghindari itu? Selama bumi masih terus berputar, pasti kita akan menghadapi si matahari itu. Tujanku selama di perjalanan, bisa jangka pendek, bisa jangka panjang. Bisa aku ke SPBU dulu, atau bisa langsung ke rumah. Tapi tujuannya satu: akhir. Yaitu matahari. Kenapa matahari? Ya ngga kenapa-kenapa sih. (TT.TT) Ehm, bentar.. bentar..

Setahun terakhir ini, aku juga suka sekali dengan kalimat, “Heading for the sun.” Ini karena aku kerap kali di perjalanan, lalu di depanku matahari. Aku seolah-olah sedang menuju matahari. Padahal engga. Aku sedang menuju tujuanku. Tapi bisa jadi tujuanku adalah si matahari itu (?). Karena kalimat itu pula, aku jadi mengulik ke ChatGPT. Apakah si-“heading for the sun” ini punya makna sendiri. Dan jawabannya adalah begini:

Yak, sodara-sodara, seperti yang telah kita duga.

Setahun terakhir ini, aku juga cukup lumayan (?) mengalami masa-masa kritis ketika menuju matahari. Menuju tujuanku. Tujuan jangka pendek, pun jangka panjang. Yang paaling aku rasakan adalah: aku terseok-seok menata rutinitasku. Rutinitas sebagai upaya aku menuju tujuanku—matahariku. Yang aku lakukan selanjutnya adalah, aku menanyakan ke teman-teman pun para seniorku, “Apa saja rutinitasmu sehari-hari?” “Bagaimana kamu mengatur waktumu?” “Bagaimana kamu belajar?” dan pertanyaan teknis lain, dengan harapan agar aku bisa menirunya untukku. Ku terapkan pada diriku. Kadang-kadang sesuai jadwal, kadang-kadang engga. Sering engganya, karena cuma di angan dan rencana dan wacana saja. Tapi sekarang aku merasa lebih baik. Lebih tertata dari sebelumnya. Aku sangat berhutang pada mereka. Terima kasih.

Konsep waktu buatku juga sangat-sangat-sangat kacau (kalau aku bisa bilang). Kenapa? Aku bahkan bingung dan dibuat melongo karena masa studiku tinggal beberapa bulan lagi. Aduh memikirkannya saja sudah bikin aku pusing dan susah. Segala pertanyaan tentang “What if..?” tentu saja ngga lepas dari aku si pemikir ini. Tapi kemudian aku bersyukur masih inget ada Yang Punya Segalanya—membuat segala hal yang ngga mungkin jadi mungkin, memiliki keluarga yang selalu support, seseorang (wow, kok nge-klaim? Hahahaha) yang menenangkanku dan selalu bilang kalau semuanya bakalan baik-baik aja (meskipun kita tau sebenernya engga. Well, tapi manifestasi memang penting), dan beberapa teman seperjuangan yang kami saling meyakinkan bersama-sama kalau kami bisa melewati ini, dan menyelesaikan ini sebelum tenggatnya. Mohon doa dan dukungannya, teman-teman pembaca. It means a lot to me! (TT.TT)

Konsep waktu yang kacau ternyata juga dialami oleh beberapa temanku. Sebagai latar belakang, akhir-akhir ini beberapa teman—seusiaku menghubungiku. Tiga diantaranya bercerita bahwa mereka putus cinta. Satu diantaranya bercerita padaku kalau hidupnya begini-begini saja. Dua yang lainnya merasa sendiri, merasa tak memiliki siapa-siapa. Aku tidak akan mengatakan bahwa semua yang mereka alami itu berhubungan denganku. Tapi aku sangat merasakan apa yang mereka alami. Aku sangat mengerti, karena beberapa diantaranya, aku pun mengalaminya—saat ini.

Salah satu dari temanku (yang bercerita padaku tadi), berkata padaku kalau di usianya yang ke-27 ini, ia merasakan keresahan yang sama ketika ia menginjak 25. Sejujurnya aku pun juga merasakan itu saat ini. Mungkin ini bisa dibilang “advanced-quarter-life-crisis” (?). Well,.. kemudian aku hanya membalasnya, “Umur-umur ganjil ii marai ra genep.” Tentu saja aku menulisnya dengan kesadaran penuh. Lalu temanku itu hanya tertawa.

Sedangkan temanku yang lain, yang putus cinta, mempertanyakan mengapa ini terjadi saat ini, saat usianya menginjak 27. Disaat teman-teman yang lain sedang merencanakan untuk pernikahannya, sementara ia kali ini harus gagal. Ku katakan padanya, mungkin ini yang terbaik, lebih baik selesai saat ini, saat belum memulai kehidupan baru. Lalu ia menangis. Aku juga ikut menangis bersamanya.

Sering kali juga aku berterima kasih (seringnya tak tersampaikan secara langsung) pada teman-temanku yang kerap bercerita padaku, mengeluhkan hidupnya, karena berkat mereka, setidaknya aku tidak merasakan kesusahan ini sendiri. Karena berkat mereka, kami bisa menangis bersama-sama. Kadang ketika masa sulit itu datang, seorang teman menghubungiku basa-basi, lalu kami membicarakan tentang liburan. Kemana saja. Ke tempat-tempat yang belum pernah kami datangi. Meskipun pembicaraan tentang liburan dan segala itinerary-nya ditutup dengan tanpa kesimpulan, setiap waktu sulit itu datang, kami akan kembali membicarakannya. Kami selalu senang dengan pembicaraan kosong itu. Seolah-olah memberikan harapan kalau kami bisa hidup lebih lama. Dan (mungkin?) lebih bahagia.

Aku tidak tahu bagaimana hidup akan membawaku. Dulu aku pernah berkata bahwa aku harus terus berjalan, setidaknya agar nanti, aku di masa mendatang tidak menyesal karena aku tidak bergerak sama sekali. Mungkin sekarang—saat ini aku juga akan mengatakan hal sama pada diriku. Namun sekarang, mungkin, di tengah perjalanan itu aku akan berhenti sejenak. Entah untuk beristirahat, mengisi bahan bakar, atau untuk menikmati perjalananku.

Tentu saja aku punya rencana untuk hidupku. Namun jika dalam rencana itu melibatkan orang lain, sering kali aku harus belajar untuk merelakan jika suatu saat rencana itu tidak berjalan untukku. Dan memang harusnya begitu.

Tahun ini, di usiaku saat ini, aku berharap kecemasanku tentang apa dan yang akan aku jalani bisa perlahan berkurang. Aku menjaga ekspektasi dan standardku agar aku tidak melewati batas dan berujung pada hal-hal yang tidak baik (untukku, maupun orang-orang yang berhubungan denganku). Kalau tahun lalu aku belajar mencintai dengan cara yang ngga mudah, tahun ini aku kasih kesempatan buat diriku untuk dicintai dengan cara yang belum pernah aku bayangkan; dari orang-orang yang mencintaiku apa adanya, yang tetap melihat aku walaupun aku lagi berantakan—ajur, babak bundhas, ra karu-karuan. Sama pentingnya dengan ketika kita belajar mencintai, jangan lupa juga belajar buat menerima cinta. Jadi, kalau suatu hari nanti ada batu besar yang menghalangi jalanku, aku yakin akan ada tetesan air yang bakal bantu aku melewatinya lebih cepat. Dan kalau nanti ada badai yang coba meruntuhkan tekadku, aku yakin akan ada sinar yang bakal menuntun aku keluar dari masalah itu.

“Heading for the sun” punya makna yang besar dan cukup relevan denganku, mungkin ngga cuma buat saat ini aja, tapi buat banyak tahun kedepan. Mungkin akan relate dengan teman-teman yang baca saat ini juga. Makanya kalimat itu aku jadiin judul buat catatan ulang tahunku yang ke-27 ini. Professorku berkata padaku, “Cepat selesaikan, ‘cause everyone is busy.” Maka, itu yang ada di tanganku sekarang, karena semua orang sibuk, semua orang punya hidup dan rencananya masing-masing, then I have to stand on my own feet, cry on my own shoulders, and get that f sun for myself. ‘Cause I’m not the only one who suffers.

Jadi, 27, mari kita bersama-sama melewati dan menikmati ini dengan berjalan-jalan. Please be kind, ‘cause this is my v first time living this life.

 ---------------------------------------- 

1)             Kenapa aku ngasih nama di motorku? Karena salah seorang temenku ada yang nanya ke aku apakah aku akan ngasih nama untuk motorku—dan ketika ku jawab “Belum tau,” dia menyarankan untuk memberi nama. Karena dia pun memberi nama untuk motornya. Dan kenapa namanya Snow White? Hmmm.. mungkin karena warnanya putih? Well, aku juga ngga tau. Hanya nama itu yang terlintas di kepalaku. Aku merawat Snow White seperti aku merawat diriku sendiri. Aku rajin service dan ganti oli tiap 2000 km. Aku rajin isi nitrogen tiap dua minggu biar jalannya Snow White ngga liuk-liuk (?) kalau ngelewatin marka jalan. Aku sering mencuci dia (di cucian motor dan kalau lagi ngga males jii1aAa4akKkHhhH) untuk dapet kupon nyampe 10, dan biar bisa ditukerin 1 kali cuci. Aku pernah ganti kulit jok gara-gara dia terluka karena arang cak sate (INI NANGIS BANGET SIH).

2)             Gimana engga, aku nyaris tiga tahun penuh ngga mengendarai motor, dan karena keadaan, akhirnya aku memberanikan diri pakai motorku sendiri. Kadang-kadang perginya jauh di jalan yang ramai dan barengan sama kendaraan besar dan berat, lagi.

3)             Aku pernah baca di Twitter (sy anaknya chronically online), orang yang lama hidup miskin cenderung lebih ngga suka sama hujan dibanding panas. Logically bener, dan aku setuju. Mari kita bahas. Pertama, di negara tropis. Hujan bikin banjir, belum kalau atap bocor bikin lantai jadi lembab, parahnya kalau kena kasur atau tumpukan baju bersih jadi lembab juga (dan basah?), dingin, kalau naik motor semua-muanya jadi kotor, jemuran ngga kering bikin apek, belum kalau kecoa masuk ke rumah. Hhhhh. Bikin males. Inget film Parasite? Nah. Kaya gitu. *insert meme pak supir dan majikannya yang lagi di mobil*

Orang yang tidak lama hidup miskin—yaa katakanlah mereka yang sejahtera, ngga relate dengan itu. Rumah dengan atap full plafon ngga bikin lantai jadi lembab, pakai kendaraan yang ada atapnya (wkwk) bikin ngga khawatir kalau kehujanan apalagi kecipratan.

Kedua, di negara empat musim. Para homeless cenderung banyak yang meninggal di musim dingin dibanding musim panas. Musim dingin bikin mereka yang ngga punya pakaian hangat jadi hipotermia, lalu meninggal.

4)             Aku ada hack buat ngatasin (atau mengurangi?) biar jidat ngga belang: pakai masker di jidat juga. (TT.TT)


Terima kasih banyak teman-teman sudah membaca sampai akhir. 
Semoga kita semua sehat selalu, bisa memanfaatkan waktu yang tersisa ini dengan sebaik-baiknya. Dan semoga kita ngga masuk ke golongan orang-orang yang merugi. Aamiin.

JANGAN LUPA MINUM AIR PUTIH YANG BANYAK, YAAAHHH!!  ❤



15 September 2024.

Salam semanis gulali,

Lathiifah Thawafani.

Share: