Sabtu, 30 September 2017

13


Hujan di Bulan September

Adakah yang lebih menggembirakan dari hujan di Bulan September?
Adakah yang lebih menyedihkan dari hujan di Bulan September?
September mengingatkanku pada sebuah tulisan dari penulis terkenal di negeri ini.
Kita tidak dapat hidup pada dua tempat dalam satu waktu.
Itulah mengapa manusia diciptakan untuk menjadi setia.
Lagi-lagi September mengingatkanku bahwa,
Penyesalan terbesar dalam hidup adalah bukan tentang kegagalan.
Namun penyesalan terbesar dalam hidup adalah karena kita tidak mau mencoba.
Yang akhirnya membuat kita tidak mengetahui hasil dari apa yang telah dilakukan.
September menjadi saksi bisu banyak orang, tentang kebahagiaan.
September menjadi saksi bisu banyak orang, tentang kesedihan.
September menjadi saksi bisu banyak orang, tentang kesuksesan.
September menjadi saksi bisu banyak orang, tentang penyesalan.
Semuanya terangkum dan terekam jelas pada Hujan di Bulan September.
Termasuk elegi dan imajinasi yang aku buat sendiri.
Maka biarkan aku terlarut dalam angan-angan yang akan terus muncul entah sampai kapan.
Dan mimpi-mimpi yang telah kita buat selama ini.
Dan catatan-catatan yang kita tulis untuk satu sama lain.
Maka biarkan waktu menjalankan tugasnya untuk mewujudkan seluruh angan, mimpi dan catatan kita dengan sempurna.
Maka biarkan awan menjalankan tugasnya untuk meneduhkan langkah-langkah kebaikan ini.
Maka biarkan hujan membasahi bumi dan hati manusia-manusia yang mulai mengering.
Maka biarkan langit menjalankan tugasnya untuk selalu menaungi perjalanan ini, sampai kita semua lelah, dan bertemu kembali dalam dimensi lain.
Dan biarkan September menjadi saksi dari kesemuanya.
Lalu tanganku menuliskan syair dan elegi di sore nan mendung nan syahdu ini dengan baik.
Hingga suatu saat, tanganku tak mampu lagi untuk menuliskannya.
Namun entah kapanpun itu, aku akan kembali lagi dengan membuka lembaran-lembaran syair dan elegi pikiranku dengan penuh kenangan dan memori.
Maka, kita simpan saja seluruh mimpi-mimpi kita dalam angin di hujan Bulan September ini dengan sempurna.
Sesempurna apa yang telah kita rancang bersama.
Sesempurna mimpi dan cita-cita kita.
September, lagi-lagi menjadi saksi bagi kita, bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selagi kita masih memiliki “percaya”.
Dan,
Aku memercayaimu.
Mari kita tunggu apa kabar hujan di Bulan September di tahun-tahun selanjutnya.
-L-

Share:

Sabtu, 16 September 2017

Tulisannya Ifa - 3

 #lathiifahselfreminder-Muhasabah

Bintang masih bersinar, seperti hari-hari sebelumnya.
Namun di tempat aku berdiri sekarang, tempat dimana aku dilahirkan, dan mungkin akan meninggalkan,
Bulan tak terlihat.
Atau, belum terlihat.
Hari ini tepat dua puluh tahun aku diperlihatkan pada dunia oleh Allah.
Hari ini, sudah dua puluh tahun lebih jantungku berdegup.
Hari ini, sudah dua puluh tahun lebih ruh-ku ditiupkan.
Maka, aku ingin bermuhasabah.
Sejak beberapa tahun silam, aku sudah berjanji pada Rabb-ku.
Untuk beriman padanya.
Lalu setelah dua puluh tahun, masa duniaku, masa dunia yang aku lalui, seberapa besarkah tingkat keimananku padanya?
Sudahkah aku menjadi hamba yang taat pada Sang Lathiif?
Sudahkah aku menjadi hamba yang patuh pada Rabbi?
Malam ini, kuputar memoriku pada banyak tahun yang lalu.
Saat dimana ombak dan angin yang saling menderu.
Tertawa dan suara khas yang menenangkan jiwa.
Kaki kecil yang berlarian diantara pasir putih.
Saat dimana kita mencari batu karang bersama.
Lalu dibawa pulang.
Aku sangat merindukan masa itu.
Lalu aku berjalan kembali, pada masa dimana dua belas tahun yang lalu, tepat di hari Jumat, 5 Agustus 2005, separuh jiwaku pergi.
Waktu terpaksa akan terus berdetik.
Maka aku tiba pada saat dimana aku bertengkar dengan temanku, lalu aku menangis.
Mengadu pada Umi.
Namun aku pernah, tidak melakukan itu. Kusimpan sendiri. Sampai aku ingin enyah, pada waktu itu.
Aku masih mencari siapa diriku.
Aku belum menemukannya.
Hidupku saat itu masih dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan,
Kenapa aku harus hidup?
Kenapa aku tidak menjadi batu saja?
Biar nanti di akhirat aku tidak perlu dimintai pertanggungjawaban.
Kenapa aku tidak menjadi kambing/sapi yang bisa menjadi hewan kurban saja?
Biar nanti di akhirat aku jelas-jelas masuk surga.
Kenapa aku tidak diwafatkan saat aku baru saja lahir?
Biar nanti aku bisa menjadi pelayan surga, dan menjemput orang tuaku dan saudaraku di surga.
Kenapa aku harus menjadi manusia?
Yang nanti akan dimintakan pertanggungjawaban di akhirat.
Yang setiap perbuatanku akan dicatat oleh Malaikat Rakib dan Atid.
Lagi-lagi aku masih mencari apa arti hidup.
Kemudian jam pasir masih berjalan, selalu berjalan.
Lalu dibawah lampu jalanan, aku berjalan, menyusuri gang, dengan tangisan.
Mengapa aku harus menjalani hidup seperti ini?
Tanyaku pada waktu itu.
Merindukan sosok yang selalu hadir dalam hidupku.
Lalu aku bertanya tentang hidup.
Untuk apa aku hidup?
Bertahun-tahun aku dihantui pada pertanyaan itu.
Sampai akhirnya, beberapa waktu lalu, aku menemukan jawabannya.
“Untuk bahagia.”
Berbicara mengenai bahagia,
Apakah hidup cukup dengan bahagia secara fisik?
Maksudku, bahagia yang bisa tampak oleh orang lain.
Duniawi.
Apakah hatiku sudah bahagia?
Apakah hatiku sudah membahagiakan orang lain?
Janganlah orang lain, diri sendiri saja dulu.
Apakah aku sudah membahagiakan diriku sendiri?
Bahagia memiliki arti yang sangat luas.
Bisa dipertemukan dengan banyak orang yang bisa membuatku akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaanku.
Sedikit demi sedikit.
Bisa berbuat kebaikan.
Bisa tetap patuh pada-Nya.
Bisa tetap selalu ingat pada-Nya.
Yang paling tidak kuharapkan adalah,
Aku wafat, dalam keadaan sia-sia.
Aku wafat, dalam keadaan aku tidak tahu apa-apa.
Aku wafat, dalam keadaan,
Aku masih belum menemukan jawaban dari segala, semua pertanyaan-pertanyaanku.
Menghitung hari menuju tahun baru.
Tahun ini akan segera berakhir.
Apa yang sudah kulakukan?
Pertanyaan itu menghantuiku akhir-akhir ini. Selama beberapa bulan terakhir.
Aku sudah tak terlalu peduli dengan,
Apa yang sudah kudapatkan?
Aku masih terlalu sedikit untuk memberi.
Beberapa minggu lalu, aku berdiskusi dengan temanku. Kami membicarakan hal yang, menurutku, menarik.
Dia sedih waktu itu. Memikirkan dunia.
Dia menggiringku, bahwa, apa yang sudah kita lakukan di dunia ini, bisa menjadi barokah atau malah bumerang di akhirat nanti.
Akhirat kekal.
Dunia sementara.
Dan sangat sebentar.
Lalu ditengah dunia yang sangat sebentar ini, apa yang sudah dilakukan?
Banyak maksiatkah?
Banyak bermanfaatkah?
Sekecil apapun perbuatan kita di dunia ini, pasti akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Tidak ada satupun yang tidak di hisab.
Hari ini aku merenungi nasibku,
Sisa usiaku sudah berkurang.
Sementara masih banyak sekali dosa-dosa yang masih aku lakukan.
Namun apakah seiring dengan berkurangnya usiaku, akan dikurangkan juga dosaku?
Pertanyaan bodoh ini memang tak perlu untuk dijawab.
Aku memang telah menemukan jawaban dari pertanyaanku, “Untuk apa kamu hidup di dunia?”
Namun, aku masih belum bisa menemukan jawaban dari,
Bagaimana caranya agar aku dan saudara muslimku terhindar dari nikmatnya dunia?
Bagaimana caranya agar aku dan saudara muslimku bisa mati dalam keadaan khusnul khatimah?
Bagaimana caranya agar aku dan saudara muslimku bisa terbebas dari siksa kubur?
Bagaimana caranya agar aku dan saudara muslimku bisa terbebas dari siksa api neraka?
Dan banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab,
Hari ini aku bersyukur, masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk selalu beribadah pada-Nya.
Hari ini aku bersyukur, masih dikelilingi keluarga, teman, guru, dan banyak sekali orang yang menyayangiku.
Namun aku melupakan,
Bagaimana keadaan saudaraku di belahan bumi yang lain.
Aku melupakan bagaimana mereka kesusahan dalam hidup, namun masih ingat pada Sang Lathiif.
Anak enam tahun, disaat teman-teman seusianya berebut makanan,
Ia hanya menginginkan satu: mushaf Al-Qur’an.
Aku malu.
Aku merasa hina dengan kenyataan itu.
Aku tak ada apa-apanya dengan anak itu.
Dia kehilangan seluruh anggota keluarganya,
karena perang.
Namun ia tak kehilangan Rabb-nya.
Karena di dalam hatinya, selalu tersimpan Sang MahaLembut.
Di sisa umurku yang entah sampai berapa.
Hari ini aku mengingatkan diriku pada hal yang meningkatkan kualitas imanku.
Hari ini aku mengingatkan diriku, bahwa, kamu, Ifa, kamu tidak tahu sampai berapa usiamu.
Maka berbuat baiklah selama sisa usiamu ini.
Berbuat baik memang susah, maka berusahalah.
Hari ini, teman-teman dan keluargaku memberikan doa yang baik.
Terima kasih untuk semuanya.
Yang paling aku harapkan adalah,
Saat aku wafat nanti, mereka akan tetap mendoakanku
Mereka akan tetap mengingat kebaikan-kebaikan yang kami lakukan.
Selalu mengingatkan pada kebaikan.
Selalu mengingatkan bahwa semuanya pasti kembali pada Sang Lathiif.
Dan insyaAllah, kita semua dapat menjadikan penolong satu sama lain di akhirat nanti.
Hingga nanti kita semua, bisa berkumpul di Jannah, yang kita impi-impikan.
Yang menjadi tujuan sebenarnya dari kehidupan ini.

Jumat, 15 September 2017. 8:58 p.m

Makhluk-Nya yang selalu memperbaiki diri,

-Lathiifah Thawafani.
Share: