#lathiifahselfreminder-Muhasabah
Bintang masih
bersinar, seperti hari-hari sebelumnya.
Namun di tempat
aku berdiri sekarang, tempat dimana aku dilahirkan, dan mungkin akan
meninggalkan,
Bulan tak
terlihat.
Atau, belum
terlihat.
Hari ini tepat
dua puluh tahun aku diperlihatkan pada dunia oleh Allah.
Hari ini, sudah
dua puluh tahun lebih jantungku berdegup.
Hari ini, sudah
dua puluh tahun lebih ruh-ku ditiupkan.
Maka, aku ingin
bermuhasabah.
Sejak beberapa
tahun silam, aku sudah berjanji pada Rabb-ku.
Untuk beriman
padanya.
Lalu setelah dua
puluh tahun, masa duniaku, masa dunia yang aku lalui, seberapa besarkah tingkat
keimananku padanya?
Sudahkah aku
menjadi hamba yang taat pada Sang Lathiif?
Sudahkah aku
menjadi hamba yang patuh pada Rabbi?
Malam ini,
kuputar memoriku pada banyak tahun yang lalu.
Saat dimana
ombak dan angin yang saling menderu.
Tertawa dan
suara khas yang menenangkan jiwa.
Kaki kecil yang
berlarian diantara pasir putih.
Saat dimana kita
mencari batu karang bersama.
Lalu dibawa
pulang.
Aku sangat
merindukan masa itu.
Lalu aku
berjalan kembali, pada masa dimana dua belas tahun yang lalu, tepat di hari
Jumat, 5 Agustus 2005, separuh jiwaku pergi.
Waktu terpaksa
akan terus berdetik.
Maka aku tiba
pada saat dimana aku bertengkar dengan temanku, lalu aku menangis.
Mengadu pada
Umi.
Namun aku
pernah, tidak melakukan itu. Kusimpan sendiri. Sampai aku ingin enyah, pada
waktu itu.
Aku masih
mencari siapa diriku.
Aku belum
menemukannya.
Hidupku saat itu
masih dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan,
Kenapa aku harus
hidup?
Kenapa aku tidak
menjadi batu saja?
Biar nanti di
akhirat aku tidak perlu dimintai pertanggungjawaban.
Kenapa aku tidak
menjadi kambing/sapi yang bisa menjadi hewan kurban saja?
Biar nanti di
akhirat aku jelas-jelas masuk surga.
Kenapa aku tidak
diwafatkan saat aku baru saja lahir?
Biar nanti aku
bisa menjadi pelayan surga, dan menjemput orang tuaku dan saudaraku di surga.
Kenapa aku harus
menjadi manusia?
Yang nanti akan
dimintakan pertanggungjawaban di akhirat.
Yang setiap
perbuatanku akan dicatat oleh Malaikat Rakib dan Atid.
Lagi-lagi aku
masih mencari apa arti hidup.
Kemudian jam
pasir masih berjalan, selalu berjalan.
Lalu dibawah
lampu jalanan, aku berjalan, menyusuri gang, dengan tangisan.
Mengapa aku harus
menjalani hidup seperti ini?
Tanyaku pada
waktu itu.
Merindukan sosok
yang selalu hadir dalam hidupku.
Lalu aku
bertanya tentang hidup.
Untuk apa aku
hidup?
Bertahun-tahun
aku dihantui pada pertanyaan itu.
Sampai akhirnya,
beberapa waktu lalu, aku menemukan jawabannya.
“Untuk bahagia.”
Berbicara
mengenai bahagia,
Apakah hidup
cukup dengan bahagia secara fisik?
Maksudku,
bahagia yang bisa tampak oleh orang lain.
Duniawi.
Apakah hatiku
sudah bahagia?
Apakah hatiku
sudah membahagiakan orang lain?
Janganlah orang
lain, diri sendiri saja dulu.
Apakah aku sudah
membahagiakan diriku sendiri?
Bahagia memiliki
arti yang sangat luas.
Bisa
dipertemukan dengan banyak orang yang bisa membuatku akhirnya menemukan jawaban
dari pertanyaanku.
Sedikit demi
sedikit.
Bisa berbuat
kebaikan.
Bisa tetap patuh
pada-Nya.
Bisa tetap
selalu ingat pada-Nya.
Yang paling
tidak kuharapkan adalah,
Aku wafat, dalam
keadaan sia-sia.
Aku wafat, dalam
keadaan aku tidak tahu apa-apa.
Aku wafat, dalam
keadaan,
Aku masih belum
menemukan jawaban dari segala, semua pertanyaan-pertanyaanku.
Menghitung hari
menuju tahun baru.
Tahun ini akan
segera berakhir.
Apa yang sudah
kulakukan?
Pertanyaan itu
menghantuiku akhir-akhir ini. Selama beberapa bulan terakhir.
Aku sudah tak
terlalu peduli dengan,
Apa yang sudah
kudapatkan?
Aku masih
terlalu sedikit untuk memberi.
Beberapa minggu
lalu, aku berdiskusi dengan temanku. Kami membicarakan hal yang, menurutku,
menarik.
Dia sedih waktu
itu. Memikirkan dunia.
Dia
menggiringku, bahwa, apa yang sudah kita lakukan di dunia ini, bisa menjadi
barokah atau malah bumerang di akhirat nanti.
Akhirat kekal.
Dunia sementara.
Dan sangat
sebentar.
Lalu ditengah
dunia yang sangat sebentar ini, apa yang sudah dilakukan?
Banyak
maksiatkah?
Banyak
bermanfaatkah?
Sekecil apapun
perbuatan kita di dunia ini, pasti akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Tidak ada
satupun yang tidak di hisab.
Hari ini aku
merenungi nasibku,
Sisa usiaku
sudah berkurang.
Sementara masih
banyak sekali dosa-dosa yang masih aku lakukan.
Namun apakah
seiring dengan berkurangnya usiaku, akan dikurangkan juga dosaku?
Pertanyaan bodoh
ini memang tak perlu untuk dijawab.
Aku memang telah
menemukan jawaban dari pertanyaanku, “Untuk apa kamu hidup di dunia?”
Namun, aku masih
belum bisa menemukan jawaban dari,
Bagaimana
caranya agar aku dan saudara muslimku terhindar dari nikmatnya dunia?
Bagaimana
caranya agar aku dan saudara muslimku bisa mati dalam keadaan khusnul khatimah?
Bagaimana
caranya agar aku dan saudara muslimku bisa terbebas dari siksa kubur?
Bagaimana
caranya agar aku dan saudara muslimku bisa terbebas dari siksa api neraka?
Dan banyak
sekali pertanyaan yang belum terjawab,
Hari ini aku
bersyukur, masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk selalu beribadah
pada-Nya.
Hari ini aku
bersyukur, masih dikelilingi keluarga, teman, guru, dan banyak sekali orang
yang menyayangiku.
Namun aku
melupakan,
Bagaimana
keadaan saudaraku di belahan bumi yang lain.
Aku melupakan
bagaimana mereka kesusahan dalam hidup, namun masih ingat pada Sang Lathiif.
Anak enam tahun,
disaat teman-teman seusianya berebut makanan,
Ia hanya
menginginkan satu: mushaf Al-Qur’an.
Aku malu.
Aku merasa hina
dengan kenyataan itu.
Aku tak ada
apa-apanya dengan anak itu.
Dia kehilangan
seluruh anggota keluarganya,
karena perang.
Namun ia tak
kehilangan Rabb-nya.
Karena di dalam hatinya,
selalu tersimpan Sang MahaLembut.
Di sisa umurku
yang entah sampai berapa.
Hari ini aku
mengingatkan diriku pada hal yang meningkatkan kualitas imanku.
Hari ini aku
mengingatkan diriku, bahwa, kamu, Ifa, kamu tidak tahu sampai berapa usiamu.
Maka berbuat
baiklah selama sisa usiamu ini.
Berbuat baik
memang susah, maka berusahalah.
Hari ini,
teman-teman dan keluargaku memberikan doa yang baik.
Terima kasih
untuk semuanya.
Yang paling aku
harapkan adalah,
Saat aku wafat
nanti, mereka akan tetap mendoakanku
Mereka akan
tetap mengingat kebaikan-kebaikan yang kami lakukan.
Selalu
mengingatkan pada kebaikan.
Selalu
mengingatkan bahwa semuanya pasti kembali pada Sang Lathiif.
Dan insyaAllah,
kita semua dapat menjadikan penolong satu sama lain di akhirat nanti.
Hingga nanti
kita semua, bisa berkumpul di Jannah, yang kita impi-impikan.
Yang menjadi
tujuan sebenarnya dari kehidupan ini.
Jumat, 15 September
2017. 8:58 p.m
Makhluk-Nya yang
selalu memperbaiki diri,
-Lathiifah
Thawafani.