Senin, 13 November 2017

Tulisannya Ifa - 4



Kali ini, saya akan berbagi tentang apa yang telah saya dapatkan di minggu ini.

Well, sebelum saya melanjutkan untuk bercerita, atau berbagi, saya sangat mengharap feedback dari teman-teman pembaca akan tulisan saya. Jika terdapat satu atau beberapa dari yang saya sampaikan tidak sesuai dengan teman-teman, bisa menghubungi saya, melalui email thawafani15@gmail.com.

Oke, kembali ke topik yang ingin saya sampaikan.

Sebelumnya mungkin perkenalan terlebih dahulu. Nama saya Lathiifah, mahasiswi semester 5, Teknik Industri.

Apa yang ada di benak teman-teman, saat mendengar Teknik Industri (TI)? Mungkin yang ada di benak teman-teman (yang belum mengetahui, what is the real IE), TI adalah sebuah program studi yang hanya membahas mengenai pabrik, pabrik, dan pabrik. Tapi, itu salah besar.

Karena, di TI, kami belajar banyak hal. Science, sosial, humaniora, bahkan ekonomi. Mungkin ada beberapa dari teman-teman yang sudah membaca atau bahkan mengikuti blog saya semenjak awal, bertanya-tanya, “Kok bisa masuk di TI? Kan dulu di Farmasi?”. Tapi kali ini saya tidak akan membahas itu. Saya akan membahas tentang,

“Sebenarnya kita kuliah untuk apa?”

Pertanyaan itu menghantui saya akhir-akhir ini. Tapi engga juga ding. Dari dulu malah.

Mungkin akan ada yang menjawab, “Kuliah itu ya untuk mencari ilmu.”

Atau, “Biar wawasan nambah, dan dapet temen banyak.”

Atau, “Biar bisa mengasah kemampuan, baik di soft skill maupun hard skill.”

Atau, “Daripada nganggur mending kuliah.”

Atau banyak jawaban lain.

Dan sekarang, saya ingin bertanya kepada teman-teman, “Anda kuliah untuk apa?” silakan jawab pertanyaan itu, dan simpan untuk teman-teman sendiri.

Well, sampai di semester 5 ini, banyak hal yang belum saya kerjakan. Selama saya menjadi mahasiswa. Mungkin banyak, tapi masih sangat sedikit jika itu menyangkut kemaslahatan ummat.

Begini, banyak waktu yang lalu, saya “di tantang” oleh seorang teman. Beliau menyampaikan seperti ini, “Semester depan kamu sudah masuk ke semester 5. Setelah semester 5, kamu sibuk ke KP, setelah KP kamu bakalan ngurus TA. Sisa waktumu hanya semester depan saja. Jadi, buat tahun ini menjadi tahun terbesarmu.” (Re: KP = kerja praktik; TA = tugas akhir; tahun ini = 2017)

Saat dia menyampaikan seperti itu, ada seperti “tanggungan” yang harus saya kerjakan. Paling tidak, ada hal besar yang saya lakukan di tahun ini, yang mungkin nantinya bisa “mengubah” saya. Entah dari cara saya berpikir, mengambil keputusan, bahkan dalam bertindak, atau mungkin dalam bentuk karya atau semacamnya.

Dan setelah saya menimbang dan berpikir, “Apa yang belum saya kerjakan?”

Lalu, sisi lain pada diri saya menjawab, “Banyak sekali yang belum kamu kerjakan. Dan tahun ini akan segera berakhir.”

Saat melihat teman-teman saya yang bisa “keluar”, mengembangkan diri mereka, dengan ikut ke komunitas-komunitas mengajar, kepanitiaan event-event besar, mengabdi ke masyarakat, dan banyak hal lain yang tidak hanya bisa mengembangkan diri mereka di dalam kampus, namun juga di luar kampus, membuat saya iri, sebenarnya. Namun semua orang memiliki caranya tersendiri untuk meningkatkan kualitas diri mereka. Ada yang memanfaatkan kegiatan di luar kampus seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, ada juga yang memanfaatkan kegiatan di dalam kampus. Himpunan, UKM, lab, lomba-lomba akademik, dan banyak hal lain. Bahkan ada juga teman-teman saya yang bisa imbang didua-duanya. Salute!

Dari kesemuanya itu, tidak ada yang salah. Kita semua memiliki waktu tersendiri, yang mana itu adalah sudah menjadi jatah kita di tiap waktu kita.

Berbicara tentang kegiatan belajar mengajar di perkuliahan, ada hal yang saya favoritkan pada tiap kali perkuliahan berlangsung. Terlepas dari dosen menyampaikan materi perkuliahan, yaitu, menyampaikan sebuah nilai-nilai kehidupan. Misalnya adalah, dengan memberikan sebuah “pesan” tersirat pada mahasiswa saat perkuliahan berlangsung; memberikan sebuah, mm, bisa dikatakan, pengalaman hidup, atau “gimana sih kehidupan kita setelah perkuliahan?”; atau “gimana sih dunia kerja yang sebenarnya?”; atau banyak hal lain.

Dan bodohnya saya adalah, saat dosen menyampaikan “poin-poin” yang menurut saya penting (selain materi perkuliahan), saya tidak menyimpannya. Namun, beberapa waktu terakhir, saya mulai menuliskan “hal-hal penting” itu.

“Emang sepenting itukah yang disampaikan dosen sampai harus ditulis?”

Dan jawaban saya adalah, “Ya.”

Sebenarnya saya memiliki hobi menuliskan hal-hal yang menurut saya menarik. Bisa jadi hal itu muncul saat saya sedang berdiskusi dengan teman, melihat sesuatu di jalan, di internet, atau yang lainnya. Termasuk ketika saya bertemu orang baru, yang baru saya kenal. “Bisa jadi, kita tidak akan bisa bertemu kembali,” itu yang saya pikirkan. Karena saat kita bertemu orang baru, saat itulah kita bertemu guru baru.

Well, beberapa minggu yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar yang diadakan oleh himpunan kami. Ada hal menarik yang disampaikan oleh pembicara. Terlepas dari materi seminar yang beliau sampaikan. Tertulis dengan jelas di buku kecil yang selalu saya bawa. Untuk menuliskan hal-hal menarik menurut saya. Seperti ini, “Jika suatu saat kita menjadi pejabat, pertahankan integritas. Tingkatkan infrastruktur, perguruan tinggi harus bersinergi dengan pemerintah. MEA adalah ancaman serius bagi bangsa kita sekarang. Harus bisa mengelola SDM dan SDA di Indonesia. Harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Perkuat kemampuan diri sendiri untuk menghadapinya.”

Pesan itu disampaikan oleh Ibu Sri Peni Inten Cahyani, Direktur Utama Indonesia Power.

Ya, semua orang memang tahu tentang hal tersebut. Namun, beberapa hanya tahu saja. Tanpa ada tindak lanjut, maksudnya adalah, tidak adanya persiapan untuk menghadapi MEA, maupun segala “tantangan” yang ada di depan. Nah, untuk menghindari itu, dan untuk selalu mengingatkan saya untuk selalu insyaAllah mengimprove diri saya, saya tulislah hal tersebut.

Integritas memang sangat penting. Bahkan dosen saya pernah menyampaikan di sela-sela perkuliahan, “Saya tidak terlalu peduli dengan soft skill maupun hard skill. Meskipun itu adalah hal yang penting. Namun bagi saya, integritas tidak kalah pentingnya.”

Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh dosen saya. Tapi sebenernya, intergritas itu apa sih? Sampai-sampai ia dielu-elukan oleh banyak orang? Jadi, menurut sebuah artikel yang saya baca, integritas adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi, dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur, dan memiliki karakter kuat. (ot.id)

Ya. Kepercayaan memang yang utama. Dan tidak dapat dibeli. Karena kepercayaan itu memang susah. Saat orang lain sudah memberikan kepercayaan pada kita, saat itulah, kita diuji. Apakah akan selalu menjaganya, atau mengkhianati.

Berbicara tentang memperkuat diri sendiri, atau bisa juga dikatakan sebagai, meningkatkan kemampuan dan kualitas diri kita. “Kita bisa meningkatkan kualitas diri kita, saat kita tahu siapa diri kita yang sebenarnya.” Itu adalah apa yang disampaikan oleh dosen saya yang lain, tentang kualitas diri.

Dan saya sangat setuju dengan itu. Bagaimana kita bisa meningkatkan diri kita, jika bahkan, kita tidak mengetahui, atau lebih parahnya, tidak mengenal diri kita yang sebenarnya?

Nah, “Siapa diri saya yang sebenarnya?”

Silakan tanyakan hal itu pada diri teman-teman sendiri.

Dengan kita mengetahui diri kita, kita juga bisa tahu, sejauh mana yang kita bisa. “Bisa” disini memiliki arti yang luas, bisa menghadapi permasalahan, bisa memberikan argumen dengan baik, bisa memperlakukan orang lain dengan baik, dan banyak sekali hal lainnya.

Dan jika teman-teman memberikan pertanyaan balik kepada saya, “Apakah kamu sudah mengenal siapa diri kamu yang sebenarnya?”

Dan saya menjawab, “Pelan-pelan, saya mulai mengenal diri saya.” Karena itu memang hal yang tidak mudah.

Lalu berbicara mengenai “yang akan kita hadapi pada masa yang akan datang” pun, membuat saya bergeming. Apa yang sudah saya persiapkan?

Salah satu dosen saya menyampaikan, “Bisa fleksibel, adalah tantangan yang harus kalian hadapi di masa kalian mendatang. Kita tidak akan bisa tahu apa yang akan menjadi trend pada masa nanti. Dan mulai sekarang, kalian harus mempersiapkannya.”

Lalu pertanyaan saya, “Apa yang harus saya lakukan?” Hayolo. Malah bingung.

Lalu diri saya yang lain menjawab, "Perkuat integritas, tingkatkan kemampuan diri, mau belajar dan yang paling penting, selalu mendekatkan diri pada Rabb-mu.”



Baiklah teman-teman pembaca semua, itu adalah sebagian kecil dari apa yang saya dapatkan, dan apa yang ingin saya bagi ke kalian semua. Saya akan sangat senang jika ada yang ingin berbagi juga dengan saya, bisa lewat kolom “komentar” di bawah, atau melalui e-mail yang sudah saya cantumkan di atas, sehingga kita bisa berdiskusi. Baik itu tentang perkuliahan, non-perkuliahan, atau hal lainnya. Selama hal itu masih “layak” untuk didiskusikan. Hehehe.

Di postingan selanjutnya, insyaAllah saya akan menyampaikan tentang salah satu pengalaman saya. Yang sampai saat ini masih menghantui saya. So, sampai jumpa di postingan saya selanjutnya!





-L-
Share:

Minggu, 05 November 2017

15

Sebuah Cerita Tentang Puan dan Tuan



“Bagaimana aku harus menyampaikannya padamu, Tuan?”, ucap Puan pada Tuan di pagi ba’da subuh.
Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Tuan masih terdiam.

Banyak hal yang ingin disampaikannya, banyak hal yang mengganggu pikirannya selama bertahun-tahun ini.

Namun tak kunjung terucap.

Namun pagi itu, Puan memberanikan diri untuk berbicara pada Tuan.

Ia membutuhkan jawaban.

Jawaban atas penantian mereka selama ini.

“Terima kasih,” akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Tuan.

“Terima kasih untuk apa? Aku tidak membutuhkan terima kasihmu, aku hanya membutuhkan jawaban, bagaimana aku harus menyampaikannya padamu?”

“Kau tidak perlu bingung bagaimana kau harus menyampaikannya padaku, Puan. Kau sudah melakukan yang terbaik.”

“Tapi kau tak kunjung memberikan jawaban.”

Puan memalingkan wajahnya.

Sunyi.

Hanya suara kicauan burung yang memecah kesunyian ini.

Lalu,

“Tuan, dulu aku berpikir, mungkin saat ini belum waktu yang tepat untuk kita berdua merajut asa bersama. Karena kita masih mementingkan ego, karena kita masih harus menemukan siapa diri kita, karena aku pikir, kita masih membutuhkan waktu untuk sendiri, untuk memperbaiki diri.”

Puan diam sejenak. Lalu ia melanjutkan,

“Dan saat itu, aku beranggapan bahwa, mungkin jika aku menunggu sebentar lagi, saat kita berdua sudah siap, saat kita berdua tidak lagi mementingkan ego satu sama lain, saat kita berdua siap untuk bersama dalam keadaan apapun, saat itu pula kita dipertemukan kembali.”

Air mata keluar dari sudut mata Puan. Ia tak dapat membendungnya.

“Dan akhirnya, kita, sekarang dipertemukan kembali. Aku membutuhkan jawaban, Tuan. Aku siap dengan apapun keputusanmu.”

Tuan terdiam.

“Sampai kapan kau akan terus diam dan berbohong dengan perasaanmu sendiri? Sampai kapan aku harus menuliskan surat, sampai kapan aku harus berbicara pada langit, sampai kapan aku harus meminta pada Tuhan untuk menyampaikan rasa rinduku padamu? Karena meskipun aku melakukan semuanya, kau masih akan selalu diam.”

“Puan,”

Tuan memberikan sapu tangan pemberian Puan beberapa tahun silam. “Usap air matamu.”

Puan menerimanya.

“Setiap hari, setiap aku terbangun dari tidurku, aku menyampaikan rasa syukurku pada Tuhan. Karena aku masih diberikan waktu untuk selalu beribadah, untuk selalu memberikan kebaikan bagi orang lain, dan untuk selalu mendoakanmu.
Setiap hari, kusampaikan rasa salamku pada bunga di depan rumah, menyapa kupu-kupu yang menghisap madunya, dan aku berkata pada kupu-kupu itu, “Sampaikan salamku pada Puan.”
Lalu aku berjalan, setiap hari, di tiap langkahku, aku berharap dan berdoa dalam hati, untuk bisa dipertemukan denganmu. Entah itu di jalan, di tempat aku beribadah, di tempat aku makan, dimanapun itu.
Lalu saat pertengahan hari, aku bertanya pada sapu tangan yang kau bawa itu, “Makan apa kau siang ini, Puan? Dengan siapa kau makan siang hari ini? Apakah makananmu nikmat?”
Kemudian, sore menjelang, kusempatkan untuk keluar sebentar, menyaksikan matahari tenggelam, dan menyampaikan pesan lagi pada matahari, “Sampai bertemu besok lagi, dan izinkan aku bisa bertemu Puan. Aku sangat merindukannya.”
Setelah isya, saat dimana bulan dan bintang berkilauan, aku merindukan saat dimana kita berdiskusi bersama waktu itu, bercerita tentang bagaimana harimu, bagaimana hariku, kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan hari ini, dan apa saja yang akan kita lakukan esok hari.
Lalu kita berdiskusi tentang hidup, kita bercerita tentang bagaimana kita merindukan keluarga kita satu sama lain. Dan bintang dan bulan yang memenuhi angkasa malam itu, menjadi saksi kita berdua.
Setiap hari aku menderita, Puan. Namun aku menahannya.
Dengan aku pergi ke banyak tempat, semakin sering aku mengingatmu, semakin bertambah pula kekagumanku padamu. Aku bangga bisa pernah mengenalmu, Puan.
Aku bangga kita pernah berdiskusi bersama.
Aku bangga padamu dengan kebaikan-kebaikan yang kau lakukan pada orang-orang di sekitarmu.
Lalu kemarin, saat kita bertemu, kuucapkan syukur yang tiada henti-hentinya pada Tuhan, pada semesta. Bahwa mereka semua, telah menyampaikan rasa rinduku padamu. Bahwa mereka menyampaikan dan mengabulkan doa-doa yang telah kupanjatkan.
Dan aku tidak mau kehilanganmu lagi, Puan.”

Akhirnya semua tersampaikan.

Akhirnya Tuan menyampaikan semua yang ada di dalam hatinya.

Akhirnya Tuan menyampaikan segala isi hatinya.

Dan akhirnya Tuan bisa tersenyum.

Puan terdiam seribu bahasa. Ia tak tahu lagi betapa bahagianya ia saat ini. Ia tak bisa mengucapkan kata apapun saat ini. Akhirnya Puan mendapatkan jawaban.

Tuan dan Puan, adalah dua orang bodoh, yang sama-sama menunggu, sama-sama mendoakan, namun tak berani menyampaikan.

Tuan dan Puan, adalah dua manusia, yang sama-sama berubah menjadi sosok yang lebih baik lagi dari awal mereka bertemu.

Lalu bertemu kembali, dengan keadaan yang sangat lebih baik dari pertama mereka bertemu.

Bukankah tidak ada yang lebih syahdu, dari dua jiwa yang diam-diam menunggu, sama-sama mengucapkan doa, lalu bertemu di titik rindu?

Dan semesta meridhoi mereka untuk bersama.

Karena mereka, Puan dan Tuan, berpisah untuk kebaikan, dan bertemu lagi karena kebaikan.


-L.
Share:

Jumat, 03 November 2017

14



Once upon a time, in the night full of stars,
Someone asked me, “Tell me about what is your feeling right now? How is your feeling? Tell me about yourself, that no one who knows it before. And I will feel so happy if you want to share with me.”
Then I answered he, “Then I don’t wanna tell you about it.”
“So, tell me, or ask me about your big question in life.”
I quietest for a moment. Think aloud. There are so many questions in my life.
Then,
“And the question is: What am I searching for?”
Then, at that time, he told me about many-many-many things.
And FYI, he told me everything, but, I couldn’t comprehended it.
I felt so sleepy.
“But the point is,” he said, “The answer is: There is no answer about your question.”
Well, our conversation for about one hour ended with that-not-so-satisfying statement.
Then, I missed all of our discussion.

Don’t you missed it?

-L-
Share: