Minggu, 05 November 2017

15

Sebuah Cerita Tentang Puan dan Tuan



“Bagaimana aku harus menyampaikannya padamu, Tuan?”, ucap Puan pada Tuan di pagi ba’da subuh.
Saat fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Tuan masih terdiam.

Banyak hal yang ingin disampaikannya, banyak hal yang mengganggu pikirannya selama bertahun-tahun ini.

Namun tak kunjung terucap.

Namun pagi itu, Puan memberanikan diri untuk berbicara pada Tuan.

Ia membutuhkan jawaban.

Jawaban atas penantian mereka selama ini.

“Terima kasih,” akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Tuan.

“Terima kasih untuk apa? Aku tidak membutuhkan terima kasihmu, aku hanya membutuhkan jawaban, bagaimana aku harus menyampaikannya padamu?”

“Kau tidak perlu bingung bagaimana kau harus menyampaikannya padaku, Puan. Kau sudah melakukan yang terbaik.”

“Tapi kau tak kunjung memberikan jawaban.”

Puan memalingkan wajahnya.

Sunyi.

Hanya suara kicauan burung yang memecah kesunyian ini.

Lalu,

“Tuan, dulu aku berpikir, mungkin saat ini belum waktu yang tepat untuk kita berdua merajut asa bersama. Karena kita masih mementingkan ego, karena kita masih harus menemukan siapa diri kita, karena aku pikir, kita masih membutuhkan waktu untuk sendiri, untuk memperbaiki diri.”

Puan diam sejenak. Lalu ia melanjutkan,

“Dan saat itu, aku beranggapan bahwa, mungkin jika aku menunggu sebentar lagi, saat kita berdua sudah siap, saat kita berdua tidak lagi mementingkan ego satu sama lain, saat kita berdua siap untuk bersama dalam keadaan apapun, saat itu pula kita dipertemukan kembali.”

Air mata keluar dari sudut mata Puan. Ia tak dapat membendungnya.

“Dan akhirnya, kita, sekarang dipertemukan kembali. Aku membutuhkan jawaban, Tuan. Aku siap dengan apapun keputusanmu.”

Tuan terdiam.

“Sampai kapan kau akan terus diam dan berbohong dengan perasaanmu sendiri? Sampai kapan aku harus menuliskan surat, sampai kapan aku harus berbicara pada langit, sampai kapan aku harus meminta pada Tuhan untuk menyampaikan rasa rinduku padamu? Karena meskipun aku melakukan semuanya, kau masih akan selalu diam.”

“Puan,”

Tuan memberikan sapu tangan pemberian Puan beberapa tahun silam. “Usap air matamu.”

Puan menerimanya.

“Setiap hari, setiap aku terbangun dari tidurku, aku menyampaikan rasa syukurku pada Tuhan. Karena aku masih diberikan waktu untuk selalu beribadah, untuk selalu memberikan kebaikan bagi orang lain, dan untuk selalu mendoakanmu.
Setiap hari, kusampaikan rasa salamku pada bunga di depan rumah, menyapa kupu-kupu yang menghisap madunya, dan aku berkata pada kupu-kupu itu, “Sampaikan salamku pada Puan.”
Lalu aku berjalan, setiap hari, di tiap langkahku, aku berharap dan berdoa dalam hati, untuk bisa dipertemukan denganmu. Entah itu di jalan, di tempat aku beribadah, di tempat aku makan, dimanapun itu.
Lalu saat pertengahan hari, aku bertanya pada sapu tangan yang kau bawa itu, “Makan apa kau siang ini, Puan? Dengan siapa kau makan siang hari ini? Apakah makananmu nikmat?”
Kemudian, sore menjelang, kusempatkan untuk keluar sebentar, menyaksikan matahari tenggelam, dan menyampaikan pesan lagi pada matahari, “Sampai bertemu besok lagi, dan izinkan aku bisa bertemu Puan. Aku sangat merindukannya.”
Setelah isya, saat dimana bulan dan bintang berkilauan, aku merindukan saat dimana kita berdiskusi bersama waktu itu, bercerita tentang bagaimana harimu, bagaimana hariku, kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan hari ini, dan apa saja yang akan kita lakukan esok hari.
Lalu kita berdiskusi tentang hidup, kita bercerita tentang bagaimana kita merindukan keluarga kita satu sama lain. Dan bintang dan bulan yang memenuhi angkasa malam itu, menjadi saksi kita berdua.
Setiap hari aku menderita, Puan. Namun aku menahannya.
Dengan aku pergi ke banyak tempat, semakin sering aku mengingatmu, semakin bertambah pula kekagumanku padamu. Aku bangga bisa pernah mengenalmu, Puan.
Aku bangga kita pernah berdiskusi bersama.
Aku bangga padamu dengan kebaikan-kebaikan yang kau lakukan pada orang-orang di sekitarmu.
Lalu kemarin, saat kita bertemu, kuucapkan syukur yang tiada henti-hentinya pada Tuhan, pada semesta. Bahwa mereka semua, telah menyampaikan rasa rinduku padamu. Bahwa mereka menyampaikan dan mengabulkan doa-doa yang telah kupanjatkan.
Dan aku tidak mau kehilanganmu lagi, Puan.”

Akhirnya semua tersampaikan.

Akhirnya Tuan menyampaikan semua yang ada di dalam hatinya.

Akhirnya Tuan menyampaikan segala isi hatinya.

Dan akhirnya Tuan bisa tersenyum.

Puan terdiam seribu bahasa. Ia tak tahu lagi betapa bahagianya ia saat ini. Ia tak bisa mengucapkan kata apapun saat ini. Akhirnya Puan mendapatkan jawaban.

Tuan dan Puan, adalah dua orang bodoh, yang sama-sama menunggu, sama-sama mendoakan, namun tak berani menyampaikan.

Tuan dan Puan, adalah dua manusia, yang sama-sama berubah menjadi sosok yang lebih baik lagi dari awal mereka bertemu.

Lalu bertemu kembali, dengan keadaan yang sangat lebih baik dari pertama mereka bertemu.

Bukankah tidak ada yang lebih syahdu, dari dua jiwa yang diam-diam menunggu, sama-sama mengucapkan doa, lalu bertemu di titik rindu?

Dan semesta meridhoi mereka untuk bersama.

Karena mereka, Puan dan Tuan, berpisah untuk kebaikan, dan bertemu lagi karena kebaikan.


-L.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar