Sebuah Cerita Tentang Puan dan Tuan
“Bagaimana aku harus menyampaikannya padamu, Tuan?”, ucap Puan pada Tuan di pagi ba’da subuh.
Saat
fajar mulai menyingsing di ufuk timur.
Tuan
masih terdiam.
Banyak
hal yang ingin disampaikannya, banyak hal yang mengganggu pikirannya selama
bertahun-tahun ini.
Namun
tak kunjung terucap.
Namun
pagi itu, Puan memberanikan diri untuk berbicara pada Tuan.
Ia
membutuhkan jawaban.
Jawaban
atas penantian mereka selama ini.
“Terima
kasih,” akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Tuan.
“Terima
kasih untuk apa? Aku tidak membutuhkan terima kasihmu, aku hanya membutuhkan
jawaban, bagaimana aku harus menyampaikannya padamu?”
“Kau
tidak perlu bingung bagaimana kau harus menyampaikannya padaku, Puan. Kau sudah
melakukan yang terbaik.”
“Tapi
kau tak kunjung memberikan jawaban.”
Puan
memalingkan wajahnya.
Sunyi.
Hanya
suara kicauan burung yang memecah kesunyian ini.
Lalu,
“Tuan,
dulu aku berpikir, mungkin saat ini belum waktu yang tepat untuk kita berdua
merajut asa bersama. Karena kita masih mementingkan ego, karena kita masih
harus menemukan siapa diri kita, karena aku pikir, kita masih membutuhkan waktu
untuk sendiri, untuk memperbaiki diri.”
Puan
diam sejenak. Lalu ia melanjutkan,
“Dan
saat itu, aku beranggapan bahwa, mungkin jika aku menunggu sebentar lagi, saat
kita berdua sudah siap, saat kita berdua tidak lagi mementingkan ego satu sama
lain, saat kita berdua siap untuk bersama dalam keadaan apapun, saat itu pula
kita dipertemukan kembali.”
Air
mata keluar dari sudut mata Puan. Ia tak dapat membendungnya.
“Dan
akhirnya, kita, sekarang dipertemukan kembali. Aku membutuhkan jawaban, Tuan.
Aku siap dengan apapun keputusanmu.”
Tuan
terdiam.
“Sampai
kapan kau akan terus diam dan berbohong dengan perasaanmu sendiri? Sampai kapan
aku harus menuliskan surat, sampai kapan aku harus berbicara pada langit,
sampai kapan aku harus meminta pada Tuhan untuk menyampaikan rasa rinduku
padamu? Karena meskipun aku melakukan semuanya, kau masih akan selalu diam.”
“Puan,”
Tuan
memberikan sapu tangan pemberian Puan beberapa tahun silam. “Usap air matamu.”
Puan
menerimanya.
“Setiap
hari, setiap aku terbangun dari tidurku, aku menyampaikan rasa syukurku pada
Tuhan. Karena aku masih diberikan waktu untuk selalu beribadah, untuk selalu
memberikan kebaikan bagi orang lain, dan untuk selalu mendoakanmu.
Setiap
hari, kusampaikan rasa salamku pada bunga di depan rumah, menyapa kupu-kupu
yang menghisap madunya, dan aku berkata pada kupu-kupu itu, “Sampaikan salamku
pada Puan.”
Lalu
aku berjalan, setiap hari, di tiap langkahku, aku berharap dan berdoa dalam
hati, untuk bisa dipertemukan denganmu. Entah itu di jalan, di tempat aku
beribadah, di tempat aku makan, dimanapun itu.
Lalu
saat pertengahan hari, aku bertanya pada sapu tangan yang kau bawa itu, “Makan
apa kau siang ini, Puan? Dengan siapa kau makan siang hari ini? Apakah
makananmu nikmat?”
Kemudian,
sore menjelang, kusempatkan untuk keluar sebentar, menyaksikan matahari
tenggelam, dan menyampaikan pesan lagi pada matahari, “Sampai bertemu besok
lagi, dan izinkan aku bisa bertemu Puan. Aku sangat merindukannya.”
Setelah
isya, saat dimana bulan dan bintang berkilauan, aku merindukan saat dimana kita
berdiskusi bersama waktu itu, bercerita tentang bagaimana harimu, bagaimana
hariku, kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan hari ini, dan apa saja yang
akan kita lakukan esok hari.
Lalu
kita berdiskusi tentang hidup, kita bercerita tentang bagaimana kita merindukan
keluarga kita satu sama lain. Dan bintang dan bulan yang memenuhi angkasa malam
itu, menjadi saksi kita berdua.
Setiap
hari aku menderita, Puan. Namun aku menahannya.
Dengan
aku pergi ke banyak tempat, semakin sering aku mengingatmu, semakin bertambah
pula kekagumanku padamu. Aku bangga bisa pernah mengenalmu, Puan.
Aku
bangga kita pernah berdiskusi bersama.
Aku
bangga padamu dengan kebaikan-kebaikan yang kau lakukan pada orang-orang di
sekitarmu.
Lalu
kemarin, saat kita bertemu, kuucapkan syukur yang tiada henti-hentinya pada
Tuhan, pada semesta. Bahwa mereka semua, telah menyampaikan rasa rinduku
padamu. Bahwa mereka menyampaikan dan mengabulkan doa-doa yang telah
kupanjatkan.
Dan aku
tidak mau kehilanganmu lagi, Puan.”
Akhirnya
semua tersampaikan.
Akhirnya
Tuan menyampaikan semua yang ada di dalam hatinya.
Akhirnya
Tuan menyampaikan segala isi hatinya.
Dan
akhirnya Tuan bisa tersenyum.
Puan
terdiam seribu bahasa. Ia tak tahu lagi betapa bahagianya ia saat ini. Ia tak
bisa mengucapkan kata apapun saat ini. Akhirnya Puan mendapatkan jawaban.
Tuan
dan Puan, adalah dua orang bodoh, yang sama-sama menunggu, sama-sama mendoakan,
namun tak berani menyampaikan.
Tuan
dan Puan, adalah dua manusia, yang sama-sama berubah menjadi sosok yang lebih
baik lagi dari awal mereka bertemu.
Lalu
bertemu kembali, dengan keadaan yang sangat lebih baik dari pertama mereka
bertemu.
Bukankah
tidak ada yang lebih syahdu, dari dua jiwa yang diam-diam menunggu, sama-sama
mengucapkan doa, lalu bertemu di titik rindu?
Dan
semesta meridhoi mereka untuk bersama.
Karena
mereka, Puan dan Tuan, berpisah untuk kebaikan, dan bertemu lagi karena
kebaikan.
-L.
0 komentar:
Posting Komentar