Kami Ada Karena Ketiadaan
Ini adalah cerita tentang perjalanan kami.
Kami bukan orang-orang yang hebat, karena kami tidak bisa melakukan apa-apa. Maka berpikirlah kembali sebelum membaca. Apakah dilanjutkan, atau tidak.
Kami bukan mahasiswa-mahasiswi yang aktif (re: aktivis), karena kami tidak pernah berorasi di depan gedung pemerintahan, menyuarakan suara rakyat, atau semacamnya. Maka berpikirlah kembali sebelum membaca. Apakah dilanjutkan, atau tidak.
Kami bukan mahasiswa-mahasiswi yang patut untuk dibaca kisahnya, karena kami bukan siapa-siapa.
Kami bukan orang-orang dewasa yang bisa berpikir dan memutuskan dengan cepat, karena kami hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Dan kami juga sama sekali bukan manusia-manusia yang bisa memberikan inspirasi dari kehidupan kami.
Tapi,
Bukankah menjadi orang yang hebat, dimulai dari tidak bisa melakukan apa-apa menjadi bisa melakukan segalanya, karena besarnya keinginan untuk belajar?
Bukankah menjadi mahasiswa-mahasiswi yang aktif, dimulai dari belum bisa melakukan orasi dan berbagai hal semacamnya?
Bukankah menjadi mahasiswa-mahasiswi yang inspiratif, dimulai dari mahasiswa-mahasiswi yang awalnya bukan siapa-siapa?
Bukankah menjadi orang dewasa yang bisa berpikir dan memutuskan dengan cepat, dimulai dari anak kecil yang tidak tahu apa-apa?
Namun, dari kesemuanya, kami memiliki sebuah tekad akan perubahan.
Hingga nantinya, kisah kami, akan dikenang, oleh siapapun itu.
Paling tidak, kami akan mengenang kisah kami sendiri.
Maka, berpikirlah kembali, teman-temanku semua, sebelum kalian melanjutkan untuk membaca kisah ini atau tidak.
Kutulis ini saat semuanya belum berakhir, saat semuanya sudah berjalan hampir sebelas bulan, dua puluh tiga bulan, sebenarnya.
Dan kutulis ini, sebagai tanda terima kasihku, sebagai tanda, bahwa kita, pernah memiliki asa untuk bersama.
Dan, INTI-nya adalah, terima kasih, untuk semuanya.
Waktu itu, 27 Desember 2016. Sekitar pukul 04.00 Subuh, semuanya dimulai.
Mimpi,
Harapan,
Keputusasaan,
Melarikan diri,
Visi,
Lelah,
Keinginan,
Benci,
Semangat,
Keinginan hanya untuk pergi,
Tak mau kembali,
Hilang,
Lalu lenyap.
Semuanya bercampur menjadi satu pada Subuh itu.
Termasuk kami.
Saat itu, sebuah “perayaan” kecil yang membuat semuanya, menjadi penuh dengan keharuan.
Setelah “perbincangan”, yang akhirnya, memutuskan Bryan Rizki Irwanto menjadi Sang Pemimpin, dengan selisih suara yang sangat kecil.
Lalu, hari berganti, Sang Pemimpin harus memilih dan “melantik” Para “Pembantu”nya. Maka terpilihlah,
Saya, Lathiifah Thawafani, sebagai Sekretaris Umum, sekaligus Wakil dari Bryan.
Rafika Maharani, Bendahara Umum.
Naufal Akbar Ma’arif, Kepala Bidang Pengkaderan.
Moh Zulmi Isman, Sekretaris Bidang Pengkaderan.
Anang Bagus Ariyanto, Kepala Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Rina Ambarwati, Sekretaris Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Aji Dwi Prabowo, Kepala Bidang Kewirausahaan.
Shanaz Erwinda, Sekretaris Bidang Kewirausahaan.
Irfan Saleh, Kepala Bidang Sosial Masyarakat dan Kerohanian.
Arif Reza Basirun, Sekretaris Bidang Sosial Masyarakat dan Kerohanian.
Redwan Driantoro, Kepala Bidang Informasi dan Multimedia.
Ahya Dewangga, Sekretaris Bidang Informasi dan Multimedia.
Bodi Pujiharjo, Kepala Bidang Minat dan Bakat.
Niken Widyowati Palupi, Sekretaris Bidang Minat dan Bakat.
Namun teman-temanku semua, tahukah kalian, sebelum “hari” itu ada, banyak sekali tragedi yang mengiringi perjalanan kami.
Sebuah keraguan.
Keraguan untuk tetap tinggal, atau meninggalkan.
Lalu kami memilih untuk disini.
Karena kami ada, bukan karena ketiadaan.
Namun kami ada, karena pilihan.
Hidup itu pilihan. Saat kita mengambil atau memilih satu dari beberapa pilihan yang ada, itu adalah keputusan yang tepat. Setidaknya untuk diri sendiri.
Setiap orang memiliki hak dari pilihannya masing-masing. tidak ada keputusan yang salah, karena semua keputusan yang diambil, berakhir dengan kebahagiaan.
Namun jika belum bahagia, berarti itu bukan keputusan yang salah, namun belum tepat dengan waktunya.
Karena, semua akan indah pada waktunya.
Dan dari banyak kejadian-kejadian itu, saya belajar, untuk menghargai keputusan orang lain, untuk “berdamai” dengan diri sendiri, dan untuk selalu mensyukuri apa yang telah ada saat ini.
Namun setelah waktu berjalan hampir satu periode ini, keraguan yang awalnya menghantui kami, atau saya pribadi lebih tepatnya, berubah secara perlahan menjadi sebuah keyakinan. Keyakinan untuk menjadi “generasi pelurus”, bukan hanya “generasi penerus”, kata Bryan. Keyakinan untuk menjadi lebih baik.
Banyak tragedi dan drama yang kami alami, perdebatan merupakan hal yang wajar untuk sebuah organisasi, begitupun dengan kami.
Dari INTI-nya adalah, saya belajar, selalu belajar kepada mereka. Tentang keikhlasan, tentang penghargaan, tentang berbicara, menangis, tertawa, keputusan, dan segala macamnya.
Saya sangat beruntung, dan, merasa bahwa keputusan yang sudah saya ambil pada kurang lebih satu tahun yang lalu, adalah tepat. Karena jujur saja, dilemma, juga menghantui saya pada waktu itu.
Berada pada pilihan yang sulit. Dimana saya tidak bisa memutuskan untuk berada pada dua-duanya. Saya harus memilih salah satu. Maka, saya memilih berada disini. Bersama mereka.
Pada kepengurusan ini, kami mencoba untuk menjadi yang lebih baik daripada kepengurusan tahun lalu. Bukankah kepengurusan yang berhasil, menciptakan generasi selanjutnya yang lebih baik?
Seperti yang sudah saya sampaikan di awal tulisan ini, kami bukan mahasiswa/mahasiswi yang gemar untuk turun di jalan, di depan gedung pemerintahan, dan sebagainya. Bukan, kami bukan apatis. Dan kami juga bukannya tidak peduli dengan mereka, kami hanya mahasiswa/mahasiswi biasa, yang berusaha untuk memperbaiki “diri kami sendiri” terlebih dahulu. INTI-nya adalah seperti itu.
Maka, izinkan saya untuk menyampaikan rasa terima kasih saya kepada orang-orang ini:
Dear, Bryan. Setahun, kita di satu bidang yang sama, aku belum terlalu mengenalmu. Namun, kurang lebih setahun pula, aku jadi wakilmu, sangat menyedihkan. Hahaha. Karena kamu sering buatku menangis, pak! L dulu tapi. Sekarang engga. Masih sangat teringat jelas saat kamu ke kosku, jam 1 pagi, demi tanda tangan tok. Itu adalah hal yang paling tidak bermutu selama aku di KMTI. Terima kasih banyak untuk semua kecuekanmu, untuk semua ketidakbermutuanmu, terima kasih sudah membuatku cemas dan khawatir, tapi koe biasa wae. Terima kasih, Pak!
Dear, Rafika. Ibuk, sejak kuliah umumku, aku merasa, kamu bisa mengertiku very-very well, itulah kenapa, saat aku diberikan amanah ini, aku ngga mau kalau ngga sama kamu. Hahahaahaha! Egois banget, yhaaa. Aku akan merindukan nginep di kosmu, saat kita pulang malem. Terima kasih banyak sudah mau dan sering kuajak diskusi tentang hidup, yang sangat-sangat worth it.
Dear, Naufal. Fal, inget pas selesai musker hari terakhir? Yang pas subuh-subuh, lalu kita boncengan bertiga sama Susi mau ke burjo, kita ngomelin apa? Wahahahahahahah. Yash. We got it, Fal. Aku yakin suatu saat nanti, kamu akan menjadi pemimpin yang ketjhe. Aku yakin. Terima kasih untuk kadang-kadang ngasih tumpangan pas aku pulang.
Dear, Zulmi. Main rumahku lagi, Zul. (p.s : ini bukan ajakan, tapi suruhan.) Dan kamu adalah orang terngeyel dan terniat, setelah Naufal, Rafika, dan Kak Saleh. Terima kasih sudah sering “menamparku”, dan “membuka mataku”. Tapi sih yang paling penting I can’t see the world in your eyes. Huahahahahhaahah.
Dear, Anang. Jujur ya Nang, awalnya aku ngga percaya. Tapi, beberapa hari yang lalu, kamu bilang, pas aku, kamu, sama Bodi di payungan. Itu bener banget, Nang. “Di kasih amanah dulu aja, gapapa. Nanti dia bakalan sadar akan tanggung jawab yang udah dikasihkan. Dan pelan-pelan, dia akan jadi yang lebih baik.” Dan ya, kamu lebih-lebih, sangat lebih baik dari Anang yang kukenal dulu. Terima kasih, Nang.
Dear, Rina. Walaupun kamu jarang muncul, terima kasih untuk semua pelajaran yang sudah kamu berikan ke kita ya, Rin. Ke aku, khususnya. Dan terima kasih sudah menjadi teman untuk Anang selama ini. Dan untuk pengorbanan di MUEC dan KMTI, terimakasih untuk semuanya ya Rin.
Dear, Aji. Aku ketawa dulu ngga papa ya, Ji. Ehm. Sama sekali ngga terbayang kamu bisa di posisi ini, dan sekarang menjadi “senior”, meskipun kamu tuh sering banget gombal dan ndagel dan kadang ngga bermutu, thanks a lot for being a good team for us.
Dear, Shanaz. Naz, dulu kita masih sama-sama asing, lalu dipertemukan, dan akhirnya bersatu. Terima kasih sudah mau menerima tawaran Bryan pada saat itu, meski harus lewat drama terlebih dahulu. But, you truly made us proud of you. Makasih banyak, Naz!
Dear, Kak Saleh. Manusia game, thx y. Terima kasih sudah mau berkembang selama ini, kak. Meskipun kamu sering banget nge-game hingga lupa waktu, tapi kamu sama sekali ngga pernah lupa dengan kewajiban dan tanggung jawabmu sebagai seorang pemimpin.
Dear, Mas Reza. Terima kasih banyak sudah menyadarkan kami ya, Mas. Semoga kamu menua dengan baik. Dan jangan jadi tua yang menyebalkan. Huahahahahahah. Canda, bosquee.
Dear, Redwan. Terima kasih sudah menjadi temanku selama ini, Wan. Huahahahah. Emang kita temeeen? Rese nya dikurang-kurangin.
Dear, Ahya. Ini juga nih, satu. Jarang muncul, tapi terima kasih, ya, Ahya. Tiap ketemu, “Fah,” “Iya, Ahya”-nya. Meski kamu jarang muncul dan kita (atau aku, lebih tepatnya) belum mengenal kamu dengan baik, terima kasih untuk pengabdiannya selama ini.
Dear, Bodi. Meski bidangmu dan Niken adalah bidang baru, terima kasih banyak untuk pengabdiannya selama ini ya, Bod. Udah super duper sabar puol. Terima kasih juga sudah mau mendengar dan memberikan solusi untuk “permasalahan” hidupku. Banyak masalah banget yaa, gueee. Aktif terus di twitter ya, Bod. Heu.
And, last but not least.
Dear, Niken. Ken, terima kasih sudah membuatku bersyukur karena bisa mengenalmu. Selalu riang dan kadang bikin ngga percaya kalau kamu punya banyak sekali kesulitan diluar sana. Terima kasih untuk selalu menemani, dan memberikan pelajaran, dan selalu sabar (kadang) dalam menghadapinya. Terima kasih untuk kadang ngomelin pemerintahan ya, Ken. Semoga nanti kita tidak hanya menjadi tukang ngomel blukuthuk-blukuthuk tentang pemerintah, namun juga insyaAllah bisa memberikan perubahan yang baik dan positif. Aamiin. Jangan galak-galak, shay.
Dan ini, saya tulis setelah semua berakhir. Namun belum benar-benar berakhir.
Satu minggu ini benar-benar menguras semuanya.
Cukup sudah mellow-mellownya, karena ku tak tahan jika nanti kita ketemu lalu kalian pada ngeledek.
So, guys.
Setelah ini, lakukan apapun yang kalian suka (selama itu bermanfaat dan memberikan dampak positif).
Aslab, organisasi lagi, travelling, nulis, gambar, dan segala hal yang membuat “harga” kita menjadi lebih “mahal”.
Manfaatkan waktu kita selama masih jadi mahasiswa. Inget pesen Mas Rendri kemarin, kita jadi mahasiswa cuma sebentar. Jadi lakukan sebaik mungkin. Kurangin tidur-tidurnya, kurangin main-mainnya.
Karena, kata Bryan kemarin (pas aku di siding L ) kita udah harus punya plan dan “what must we do to face the future?” (bener ngga sih ini grammarnya? Cmiiw).
Jadi, INTI-nya adalah, siapkan dirimu untuk menghadapi tantangan-tantangan ke depan.
Seperti yang kita tahu, kita selesai di KMTI bukan berarti semuanya bakalan selesai. Tapi, ada hal lain lagi yang perlu untuk dimulai, dan akan terselesaikan lagi. Its all about life cycle.
Semangat, cah! I do love you to the jkdhgfkjhfghasgfiasgfiagfdhf and back!
Dan untuk mas mba KMTI 2016, terima kasih sudah membuat kami menjadi lebih baik, terima kasih sudah mempertemukan kami, INTI-nya adalah 2017, dan terima kasih untuk segala pengalaman dan ceritanya.
KMTI 2018, kalian harus lebih keren dan kece dari tahun ini dan sebelumnya.
Well done, guys! ❤
Terima kasih dan maaf untuk semuanya.
0 komentar:
Posting Komentar