Rabu, 09 Desember 2015

4

Ini bukan tentang pena yang ditinggalkan begitu saja oleh penulisnya.
Ini juga bukan tentang ­dompet yang tiba-tiba kehilangan isinya.
Ini adalah tentang pengorbanan.
Pengorbanan yang tidak dihargai.
Pencapaian yang sama sekali diabaikan.
Bahkan dilirik pun tidak.
Semuanya yang dilakukan hanya seperti angin lalu.
Tapi semuanya berbeda ketika dia mulai menyapaku. Apapun yang kulakukan terasa benar, meskipun sebenarnya salah. Munafik memang. Tapi aku bahagia. Bahagia bila dia memujiku. Bahagia ketika dia tersenyum padaku. Sesederhana itu. Aku memang mudah bahagia. Bila itu dengannya. Bahkan cacian pun terasa seperti pujian bila itu ia yang melakukannya. Ironis memang. Ya. Aku mengakuinya.
Tapi pengakuanku selalu salah dimatanya.
Pengakuanku tidak akan berarti jika itu padanya.
Lelah.
Tapi aku menikmatinya. Entah sampai kapan aku akan selalu begini. Ada yang tahu? Kurasa hanya Sang-Pemilik-Jagad-Raya-lah yang tahu tentang semuanya.
Ini bukan tentang induk merpati yang selalu memberi  makan anak-anaknya.
Ini juga bukan tentang semut yang selalu bersama.
Ini adalah tentang pengharapan.
Harapan yang sama sekali tidak bisa dijamah.
Harapan yang sama sekali tidak bisa dijadikan acuan untuk tetap bertahan hidup.
Tapi bukankah setiap orang berhak untuk berharap? Berharap tentang apapun. Walaupun kemungkinan terwujudnya harapan itu hanyalah nol koma sekian persen.
Termasuk ketika aku berharap untuk selalu bisa bersamamu. Dalam keadaan seperti apapun.
Bolehkah aku berharap Sang-Pemilik-Jagad-Raya-ini menyatukan kau dan aku kemudian menjadi kita lalu menjadi satu?
Bolehkah aku berharap hanya aku yang selalu bisa membuatmu tertawa semanis itu?
Bolehkah aku berharap hanya aku yang dapat melihat tangismu dan melepaskan semua penat dari dalam dirimu?
Karena aku hanya bisa berharap, maka aku akan selalu berharap.
Mungkin kau akan bertanya, “Mengapa tidak kau coba saja, berkata padanya bagaimana perasaanmu dari hati yang terdalam terhadapnya?”
Maka aku akan menjawab, “Siapalah aku dimatanya. Seperti yang penyair itu bilang, aku hanyalah sebuah partikel debu bahkan dimatanya pun aku tak terlihat. Sekecil itu. Walaupun dia “selalu bersama”ku, tetap saja aku dipandangnya seperti figuran dalam hidupnya. Bisakah aku menjadi pemeran utamanya?”
Tak apa aku akan seperti ini, asalkan dia tetap memujiku, asalkan dia tetap mencaciku, asalkan dia tetap tersenyum. Walaupun tidak tersenyum padaku.
Maka aku akan diam, memendam perasaan yang aku kubur lama-lama. Entah sampai kapan.
Maka aku akan berharap, mengharapkan sesuatu yang tak pasti.
Lalu, mungkin kau akan bertanya, “Kenapa tidak kau lupakan dirinya untuk mencintai orang lain?”
Lalu, maka aku akan menjawab, “Aku tidak yakin apakah ini cinta atau tidak. Karena aku tidak tahu apakah definisi cinta yang sebenarnya.”
Lalu aku berpikir tentang cinta.
Apa itu cinta?
Apakah sebuah tempat dimana kita bisa pulang kapan saja?
Apakah sebuah dimensi waktu dimana kita bisa mendapatkannya kapanpun?
Apakah sebuah aspek dimana kita bisa merasakan berbagai perasaan yang bercampur-campur?
Apakah sesosok makhluk yang bisa membuat diri ini tidak keruan?
Apakah sebuah sebab mengapa kita diciptakan berpasang-pasang oleh Sang-Pemberi-Cinta?
Ataukah ini sebuah alasan bagaimana individu-individu berjuang untuk hal yang tak pasti?
Yang jelas, apapun itu. Aku hanya ingin satu : bahagia.
Entah itu bersamanya atau tidak.
Entah itu disini atau disana.
Aku tak peduli.
Karena Dia telah menciptakan hal yang pasti akan membuatku sangat bahagia. Sangat amat bahagia. 




♥, L.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar