Selasa, 22 Desember 2015

Tulisannya Ifa - 2


#AkuUntukIbu

Happy Mothers Day!

Tuesday, Dec 22 2015.
Dalam rangka memperingati hari ibu, saya akan menceritakan bagaimana ibu saya kepada kalian. Berbicara mengenai ibu. Siapa sih diantara kita yang tidak sayang dengan ibu? Pastinya tidak ada, bukan? Lalu jika kita sayang degan ibu, apa yang sudah kita lakukan untuk ibu? Prestasi? Materi? Atau apa? Pernahkah diantara kita menyakiti hati ibu? Sudahkah kita meminta maaf pada ibu atas segala kesalahan yang telah kita lakukan? Lalu sudahkah kita menjadi anak yang ibu dambakan?
Pendahuluan saya mungkin cukup sampai disitu.
Kembali ke topik awal. Ibu saya.
Umi-saya biasa memangil beliau. ‘m’ nya ngga dobel ya. Hehe- adalah wanita kelahiran Sragen, 8 Juni 1966. Bukankah banyak pemimpin negeri ini yang lahir pada tanggal tersebut? Soekarno dan Soeharto, misalnya. Dan Umi, adalah seorang pemimpin juga. Pemimpin bagi dirinya sendiri, dan juga pemimpin bagi keluarga. Bagaimana tidak beliau menjadi pemimpin keluarga? Bapak sudah meninggal 10 tahun lebih yang lalu. Tepatnya tanggal 5 Agustus 2005. 10 tahun bukan waktu yang sebentar pun mudah bagi seorang ibu untuk mendidik, membesarkan, merawat 4 orang anak sekaligus. Terkadang jika saya mengingat bagaimana perjuangan umi 10 tahun yang lalu, sampai sekarang, ingin rasanya saya protes kepada Allah kenapa harus umi yang menanggung ini semua. Namun seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai mengerti mengapa Allah memberikan ini semua pada keluarga kami. Pada umi. Ini adalah karena Allah sayang dengan kami. Allah sayang dengan umi. Allah ingin mengangkat derajat keluarga kami. Allah ingin mengangkat derajat umi.
Terkadang saya ingin menangis jika umi bercerita tentang masa mudanya yang sudah ditinggal ibu-nenek saya- sewaktu masih di bangku sekolah. Hingga akhirnya umi harus mengurusi kakek, sendirian-karena saudara-saudara umi sudah berkeluarga. Dan hanya tinggal umi dan juga kakek-. Saya membayangkan jika saya berada di posisi umi saat itu. Betapa menderitnya saya. Betapa menyebalkannya hidup saya.
Sampai akhirnya umi berkeluarga, hingga kehilangan sesosok orang yang amat dicintainnya, bapak. Lalu semua harapan dalam hidupnya sirna. Cahaya yang ada dalam diri umi mulai meredup. Dengan segala perjuangan yang telah ia lakukan. Dengan segala tangisan yang telah ia kucurkan. Dengan segala doa-doa yang telah ia panjatkan kepada Allah agar diberikan kekuatan pada umi untuk menjalani hidup, untuk dapat mendidik keempat anaknya. Dengan segala fitnah yang telah orang-orang berikan pada umi. Dengan segala cobaan hidup yang membuat orang lain mungkin tidak akan mampu meembayangkan bagaimana ia seharusnya jika ia berada di posisi umi.
Jungkir balik umi menghadapi kerasnya hidup. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, umi, sejak beliau kecil, sampai saat ini, tidak pernah ia berhenti bekerja.
Sejak bapak meninggal, beberapa hari kemudian, umi  menjual kendaraan peninggalan bapak. Sebagai modal untuk memulai usaha. Mengingat umi hanyalah lulusan D1, dan saat bapak masih ada, umi tidak di izinkan untuk bekerja, maka mulailah umi dengan membuka sebuah toko. Lebih kurang satu tahun kemudian, jadilah toko yang menjual segala kebutuhan rumah tangga. –dengan umi sebagai orang yang menghandle-. Banyak sekali rintangan yang telah umi hadapi. Mulai dari di tipu orang, di fitnah, dan sebagainya yang membuat umi menjadi wanita yang sangat sangat sangat tegar luar biasa. Hampir empat setengah tahun usaha itu berjalan. Mulai banyak pesaing-pesaing yang berdatangan. Hingga akhirnya umi memutuskan untuk menutup toko tersebut. Segala perlengkapan yang ada di toko, di jual untuk membuka sebuah warnet yang saat itu masih booming. Hingga sampai sekarang warnet yang di kelola masih bertahan. Alhamdulillah.
Membesarkan empat orang anak selama sepuluh tahun sendirian. Dengan segala badai yang menghampiri umi, umi tetaplah umi yang tegar, yang sabar, yang hanya ingin dia saja yang menderita, yang penting jangan anaknya yang menderita. Dan akhirnya, membuat aku sadar bahwa selama aku hidup bersama umi, aku masih belum merasa berguna untuknya. Kadang ia berkata padaku bahwa dia mencintaiku, namun aku lebih mencintainya. Tapi bukankah rasa cintanya padaku lebih besar daripada rasa cintaku untuknya? Semoga saja rasa cinta kami satu sama lain sama-sama besarnya.
Terlepas dari itu semua, umi tak pernah menampakkan kesedihan, keresahan, ketakutan, dan segala hal yang mengancam kami pada keempat anaknya. Beliau tidak ingin anak-anaknya memikirkan hal-hal seperti itu. Biarlah ibunya yang merasakan. Jangan sampai anaknya mengerti tentang segala ketakutannya.
Saya masih ingat, jumat kemarin, sewaktu acara Yeo’s Happy Mothers Day, Cakra Khan menyanyikan lagu Bunda milik Melly Goeslaw. Umi memeluk saya. Umi mencium saya. Beliau menangis.
Hal yang saya dapatkan dari umi adalah beliau sama sekali tidak malu menjadi single parent, beliau tidak malu bekerja apapun asalkan itu halal, beliau tidak menggubris apa kata orang tentang dirinya, beliau akan malu jika anaknya menyimpang, jika anaknya melakukan hal yang mencoreng nama keluarga. Kelak saya ingin menjadi ibu seperti umi. Sabar, tegar, tanpa pamrih, selalu ingin anaknya lebih bahagia di banding dirinya, bisa mendidik anak-anaknya menjadi anak yang mandiri, lebih dewasa dari teman-temannya yang lain, lebih memahami apa arti hidup, lebih mensyukuri segala yang telah Allah berikan pada kita, meskipun hanya setetes air, lebih menghargai hidup, lebih menghargai orang lain, lebih memanfaatkan waktu yang telah Allah berikan ada kita semua.
Pada akhirnya, saya belum pernah melihat orang lain sehebat umi.
Dan saya juga yakin, kalian, yang membaca tulisan saya ini, belum pernah melihat orang lain sehebat ibu kalian.
Selamat hari ibu. Salam sayang dariku untuk ibu kalian.


♥, L.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar